Kupang (ANTARA) - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Johanes Tuba Helan, SH, MHum mempertanyakan komitmen DPR dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air, dengan melakukan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Baca juga: KPK: Beberapa poin revisi UU KPK tidak sesuai Piagam PBB

"Mengapa revisi UU KPK dilakukan secara diam-diam di akhir masa jabatan DPR. Kita pertanyakan komitmen DPR dalam mendukung pemberantasan korupsi, jika nyatanya mengobrak abrik KPK," kata Johanes Tuba Helan kepada wartawan di Kupang, Jumat.

Dia mengemukakan pandangan itu, berkaitan dengan revisi UU KPK yang disinyalir akan memperlemah posisi lembaga antirasuah itu dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu mengatakan, jika revisi UU KPK membuat lembaga itu menjadi lebih kuat dalam pemberantasan korupsi, maka harus didukung.

Baca juga: Laode M Syarif minta revisi UU KPK transparan

Namun, jika tujuannya untuk memperlemah posisi KPK, kata dia, maka sangat disayangkan, dan itu akan mendapat penolakan dari masyarakat antikorupsi.

Mengenai kemungkinan KPK setara dengan eksekutif, dia mengatakan, KPK setara dengan yudikatif tetapi kalau berubah-rubah menjadi eksekutif berarti di bawah presiden, maka hancurlah KPK.

Dalam revisi yang diajukan untuk mengubah UU KPK, terdapat sejumlah poin di antaranya mulai statusnya yang akan berada di bawah lembaga eksekutif.

Baca juga: KPK kirim surat kepada Presiden soal permasalahan revisi UU KPK

Selain kewenangan penyadapan yang harus mendapat izin, keberadaan dewan pengawas, juga hingga bolehnya KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan.

"Kalau KPK di bawah lembaga eksekutif berarti di bawah presiden dan itu berarti hancurlah KPK," katanya menambahkan. 

Baca juga: Presiden Jokowi harap DPR dapat perkuat KPK

Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019