Jakarta (ANTARA News) - Tekanan demi tekanan terhadap Temasek Grup silih berganti sejak perusahaan Singapura itu mengambilalih saham PT Indosat Tbk (Isat) pada akhir 2002 lalu (masa pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputeri). Sorotan publik kepada Temasek mencapai puncak ketika pada Jumat (6/6), Qatar Telecom (Qtel) mengumumkan telah membeli 40,8 persen saham Indosat yang selama beberapa tahun ini dikuasai Singapore Technologies Telemedia (STT), melalui Asian Mobile Holding (AMH). Dalam struktur STT, Asian Mobile Holding adalah pemilik Indonesia Communication Limited (ICL) yang tercatat sebagai pemegang saham Indosat. STT sendiri terafiliasi dengan Temasek Grup. Pada perjanjian itu, Qtel membayar sebesar 2,4 miliar dolar Singapura atau 1,8 miliar dolar AS setara dengan Rp16,74 triliun. Transaksi yang nyaris tidak terendus media massa itu pun mengundang kontra karena dilakukan di tengah belum tuntasnya kasus hukum yang membekap perusahaan tersebut. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan, perusahaan berbasis di Singapura itu melanggar UU No.5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelanggaran dikaitkan dengan pasal 27, bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama. Atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan satu pelaku usaha atau kelompok pelaku menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Ihwal tuduhan praktik monopoli itu berasal dari laporan Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu pada 26 Oktober 2006. Federasi mengklaim menemukan bukti yang mengindikasikan ada pelanggaran undang-undang salah satunya, melalui penerapan tarif dengan pola yang hampir sama. Meskipun belakangan Federasi Serikat Pekerja BUMN itu menarik laporannya karena khawatir akan dimanfaatkan pihak tertentu, namun KPPU meneruskan laporan tersebut dengan melakukan penyelidikan atas Temasek pada 15 Mei 2007. Pemeriksaan terus bergulir, dan hasilnya pada November 2007 majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memerintahkan Temasek dalam jangka satu tahun, harus melepas kepemilikan saham di Indosat atau di Telkomsel. Selain itu, majelis hakim juga mengizinkan publik memiliki saham Indosat dan Telkomsel hingga 10 persen atau dua kali lipat dari keputusan yang pernah dikeluarkan KPPU sebesar 5 persen. Tidak terima atas putusan tersebut, STT mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung, dan menyatakan tidak pernah memiliki posisi dominan untuk menetapkan harga tinggi kepada konsumen di Indonesia, karena tarif diregulasi oleh lembaga di Indonesia yang menjadi rujukan para operator telekomunikasi. Temasek juga menyatakan bahwa dalam memperoleh saham Indosat dari Pemerintah Indonesia melalui undangan Pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi dalam privatisasi tahun 2002. Namun yang menjadi sorotan adalah, belum lagi kasus tersebut jelas dan bebas (free and clear), serta belum memiliki kekuatan hukum tetap, STT justru melepas sahamnya ke Qtel. KPPU melalui Ketua Syamsul Maarif langsung berang, menilai STT tidak menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. "Ini sama halnya menginjak-injak harga diri KPPU, tetapi juga harga diri bangsa," katanya. Tidak cukup di situ, protes keras juga disampaikan Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM), Ismet Hasan Putro menyebutkan negara telah dirugikan secara finansial dan nonfinansial akibat ulah dan manuver STT. "Secara finansial negara sudah dirugikan sebesar Rp 11,5 triliun belum lagi STT sudah mengeruk dividen dari Indosat sekitar Rp1,5 triliun. Ini tak ubahnya STT bermental perompak," kata Ismet. Desakan agar menindak tegas dan menyetop transaksi tersebut mengemuka, sebelum semua masalah hukumnya jelas. Nada keras juga disampaikan anggota DPR-RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo. Pengamat ekonomi politik ini meminta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) tidak menyetujui dulu transaksi tersebut karena terkesan ada yang ditutup-tutupi. "Indosat merupakan perusahaan publik dan jumlah saham yang dijual banyak, Bapepam mendapat laporan terlebih dahulu," kata Drajad. Aspek Hukum Boleh jadi dari sisi proses hukum soal pembelian ini menjadi masalah, tetapi dari sisi bisnis, pengalihan saham Indosat ke Qtel tidak jadi soal. Menurut Chairman Grup Qtel Sheikh Abdullah Al Thani, pihaknya senang atas tuntasnya transaksi tersebut. "Transaksi ini merupakan komitmen kami di Indonesia dalam mengembangkan infrastruktur di sektor telekomunikasi di Indosat," kata Thani. Dengan akuisisi itu menurut Al Thani, Qtel akan melayani 44 juta pelanggan di 16 negara. "Indosat merupakan perusahaan penting dan menggairahkan investasi Grup Qtel. Investasi kami di Indosat untuk mendukung pertumbuhan dan potensinya," katanya. Senada diungkapkan Direktur Utama QTel, Dr Nasser, bahwa Qtel merupakan investor jangka panjang dan strategis. "Kami akan berinvestasi lagi di Indonesia (melalui Indosat) agar QTel menjadi perusahaan telekomunikasi terdepan di Indonesia," katanya. Presiden dan Pimpinan Eksekutif STT, Lee Theng Kiat urun bicara, bahwa Qtel merupakan perusahaan telekomunikasi global dengan manajemen kuat dan visi yang jelas. "Saya yakin apa yang telah kami (STT) lakukan selama 5 tahun terakhir di Indosat, merupakan catatan penting dalam 40 tahun, dan Qtel bisa meningkatkannya," ujar Lee Theng Kiat. Transaksi penjualan kepada Qtel tidak akan memengaruhi STT dan Qtel maupun investasi lain di pasar yang dibuat oleh keduanya. Asia Mobile merupakan anak perusahaan Temasek Holding. Perusahaan itu merupakan kongsi yang didirikan oleh Qtel dan STT. Mayoritas saham kepemilikan Asia Mobile (75 persen) dimiliki STT. Menurut STT, dengan pembelian seluruh saham Asia Mobile Holding oleh Qtel, maka Temasek Holding tidak memiliki keterlibatan di Indosat. Namun cukupkah sampai di situ? Lantas bagaimana posisi Indonesia sebagai tempat berusaha dan berbisnis Indosat tersebut? Menurut Menneg BUMN Sofyan Djalil, pemerintah senang dan mendukung Qtel masuk ke Indosat. "Pemerintah juga tidak mempersoalkan siapa pihak yang membeli saham Indosat tersebut. Dari sisi iklim investasi (transaksi) justru akan bagus," katanya. Menurut Sofyan, meskipun kepemilikan saham mayoritas Indosat telah beralih ke Qtel, namun segala bentuk perjanjian jual beli (sales and purchase agreement/SPA) tetap sama dengan ketika STT mengambil alih saham Indosat pada 2003. "SPA ketika menjual kepada STT tetap sama, dimana posisi Dirut akan ditempati orang Indonesia. Mereka (Qtel) juga menyatakan komitmen untuk mengembangkan bisnis Indosat," kata Sofyan. Menteri juga menjamin bahwa dengan saham Dwi Warna (saham Merah Putih) yang dimilik pemerintah, posisi Dirut Indosat tetap diisi oleh orang Indonesia. Sofyan juga menjelaskan, bahwa tidak mengetahui motivasi STT menjual saham kepada Qtel. "Apakah mereka (STT) kecewa ataukah karena mendapat margin (keuntungan) yang cukup bagus? Tidak bisa saya komentari," ujarnya. Kontroversi Harus diakui, pro kontra dan kontroversi seputar penjualan saham Indosat ke Temasek saat kepemimpinan mantan Menneg BUMN Laksmana Sukardi, hingga dilepas ke Qatar Telecom masih akan bergulir. Demonstrasi secara sporadis menentang keberadaan Temasek di Indosat tidak bisa terbendung, dari isu nasionalisme. Bahkan pada beberapa kesempatan diskusi dengan topik "buyback" atau membeli saham pemerintah yang dikuasai STT terus digelar. Dorongan pemerintah agar "buy back" Indosat juga mengalir keras dari bibir seorang tokoh reformis Amien Rais. Amien yang menggulirkan "Gerakan Rebut Kembali Indosat" ini mendesak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla untuk membeli kembali Indosat. Ketua Tim Pembela dan Penyelamat Aset Telekomunikasi Indonesia (TIM PEPATI) Syahrul Akhyar, mengatakan kedaulatan telekomunikasi Indonesia hilang akibat penjualan Indosat ke pihak Singapura. Harus diakui, penjualan saham Indosat ke Singapura merupakan preseden buruk bagi negeri ini, namun keputusan sudah diambil dan sudah menjadi bubur. Sesungguhnya, pemerintah sendiri berada pada posisi tidak menguntungkan, di samping tidak punya hak untuk menolak pengalihan saham Indosat ke Qtel, pemerintah juga tidak memiliki dana untuk itu. "Kalaupun kita (pemerintah) punya dana lebih baik digunakan untuk membangun infrastruktur listrik karena bisa menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak," ujarnya. Transaksi sudah terjadi, namun proses hukum masih berlangsung. Tentu pihak Qtel melalui konsultannya telah mengetahui kondisi yang akan dihadapi pasca pengambilalihan saham Indosat tersebut, dan segala risiko hukum maupun bisnis menjadi tanggungjawab Qtel. Terlepas dari semua itu, penjualan saham Indosat tersebut seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintahan saat ini dan masa datang bahwa mendorong BUMN agar berkinerja lebih bagus merupakan suatu keharusan, tanpa intervensi siapapun, sehingga tidak timbulkan kontroversi. (*)

Oleh Oleh Royke Sinaga
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008