Oleh Rahmad Nasution Brisbane (ANTARA News) - Perdana Menteri (PM) Australia, Kevin Rudd, merupakan sosok pemimpin Australia yang menghidupkan kembali masa depan pengajaran bahasa-bahasa Asia, termasuk Bahasa Indonesia, di sekolah dan universitas di negaranya. Kefasihannya berbahasa Mandarin tidak hanya telah membedakannya dari John Howard yang digantikannya. Kemampuan yang diperolehnya dari bangku sekolah itu telah pula memudahkan Kevin Rudd melakukan komunikasi politik dengan China, terlepas dari perbedaan pandangan pemerintah kedua negara dalam isu Tibet. Saat berkunjung ke Beijing, ibukota China, pada 9 April 2008, Rudd sempat menyampaikan pidatonya dalam bahasa Mandarin di depan civitas akademika Universitas Beijing. Ekspose kemampuan berbahasa asing sang perdana menteri, menurut pakar bahasa Universitas Melbourne, Prof J. Lo Bianco, memberikan angin segar bagi masa depan pengajaran bahasa-bahasa asing, khususnya Asia, di Australia. Selain ekspose dari Rudd, deklarasi Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) 2020 di Canberra April lalu, yang menempatkan posisi penting bahasa-bahasa asing, juga menambah optimisme di tengah krisis penguasaan bahasa selain bahasa Inggris (LOTE) di kalangan siswa kelas 12 Australia. Krisis penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa-bahasa Asia, itu menjadi kegusaran pemerintahan PM Rudd karena kondisi ini dianggap sebagai ancaman bagi kemampuan Australia dalam melibatkan diri secara lebih komprehensif dengan mitra mereka di Asia. Wakil PM Australia, Julia Gillard, yang juga menteri pendidikan dalam kabinet pemerintahan PM Rudd, mengatakan bahwa jumlah siswa kelas 12 di Australia yang mempelajari bahasa asing kini kurang dari 14 persen. Dari jumlah itu, hanya sekitar 5,8 persen yang belajar bahasa-bahasa Asia di kelas 12. Di tingkat universitas, proporsi mahasiswa yang belajar bahasa-bahasa Asia jauh lebih rendah, yakni sekitar tiga persen, katanya. Kondisi monolingual mayoritas siswa dan mahasiswa Australia itu, katanya, bertolak belakang dengan yang dapat ditemui di Belanda dan Finlandia, kata Gillard dalam pidatonya bertajuk "Leading 21st Century Schools Engage With Asia Forum" pada 20 Mei. Di Belanda, jumlah siswa sekolah menengah pertama yang mengambil satu mata pelajaran bahasa asing mencapai 99 persen, dan di Finlandia, para siswa diwajibkan mempelajari tiga bahasa asing di sekolah, katanya. Kondisi monolingual di Australia umumnya ditemui di kalangan warga kulit putih keturunan "Anglo Saxon" karena mereka merasa cukup hanya dengan bahasa Inggris yang telah menjadi bahasa internasional. Secara sosiologis, Lo Bianco melihat bilingualisme atau kemampuan seseorang untuk berbahasa lebih dari satu bahasa cenderung hanya terjadi di kalangan warga Australia keturunan Aborigin dan berlatar belakang migran, serta orang-orang tertentu dalam masyarakat yang memang suka mempelajari bahasa asing. Sementara itu, orang-orang Australia yang merupakan penutur asli bahasa Inggris cenderung menjadi monolingual akibat semakin sedikit saja dari mereka yang menekuni LOTE di sekolah dan universitas, katanya. Relatif kecilnya alokasi dana bagi program pengajaran bahasa asing dan terlalu sedikitnya jumlah bahasa asing yang diajarkan memunculkan skeptisisme, katanya. Dilihat dari sejarah pengajaran bahasa-bahasa Asia di Australia, bahasa Indonesia termasuk di antara bahasa yang paling awal diajarkan di sana. Di negara bagian Victoria, bahasa Indonesia sudah diajarkan di lembaga pendidikan sejak tahun 1960-an, katanya. Pengajaran bahasa Indonesia ini kemudian diikuti oleh pengajaran bahasa Vietnam dan Khmer sebagai bahasa komunitas pada 1970-an, bahasa Jepang pada 1980-1990-an dan bahasa Cina pada 2000. Sejauh ini, isu-isu di seputar pentingnya pengajaran bahasa asing, khususnya bahasa-bahasa Asia, cenderung lebih nyaring disuarakan oleh kalangan elit bisnis dan diplomasi di Australia karena didorong oleh kebutuhan integrasi Australia dengan kawasan Asia Pasifik, perdagangan, maupun keamanan nasional, katanya. Argumentasi Prof Bianco sejalan dengan yang menjadi keinginan Menteri Luar Negeri Stephen Smith berkaitan dengan manfaat penguasaan bahasa-bahasa Asia bagi masa depan diplomasi Australia di kawasan. Menlu Smith bahkan menggarisbawahi bahasa Indonesia, China, Jepang, dan Korea sebagai bahasa Asia yang mutlak perlu dipelajari dan dikuasai oleh generasi muda Australia. "Bagi saya adanya dorongan kuat untuk (mempelajari dan menguasai) bahasa-bahasa asing, khususnya Asia, merupakan hal yang sangat penting bagi kita dalam menjalankan hubungan internasional, kebijakan luar negeri dan posisi kita di kawasan," katanya. Untuk memenuhi kebutuhan diplomasi jangka panjang dan meningkatkan daya saing Australia di abad 21, Menteri Pendidikan Julia Gillard Mei lalu mengatakan, pemerintah federal mengalokasikan dana sebesar 62,4 juta dolar dalam empat tahun untuk mendukung Program Nasional Studi dan Bahasa Asia di Sekolah. "Program ini akan mendukung studi bahasa-bahasa Asia di sekolah lanjutan atas dengan penekanan pada bahasa Jepang, Indonesia, Mandarin, dan Korea," katanya. Komitmen pemerintah federal Australia untuk mengintensifkan kembali program pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Asia lainnya di SMA-SMA di negara itu disambut hangat KBRI Canberra. Mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di KBRI Canberra, Dr R Agus Sartono MBA mengatakan, adanya komitmen Australia itu akan mendorong para remajanya belajar dan menguasai bahasa-bahasa Asia, termasuk bahasa Indonesia. Namun, menurut Agus Sartono, yang tak kalah penting adalah program beasiswa pemerintah Australia bagi para mahasiswanya untuk belajar di sejumlah universitas terkemuka di Indonesia supaya mereka bisa merasakan denyut kehidupan rakyat Indonesia. "Kehadiran mereka itu juga akan membuat mereka lebih mudah mengetahui dan memahami keragaman budaya bangsa kita sehingga dengan begitu salah persepsi, `misjudgement` (salah nilai), dan stereotipe negatif akan bisa dikikis," katanya. Selain itu, sebagaimana keberadaan lebih dari 16 ribu orang pelajar dan mahasiswa Indonesia di Australia setiap tahunnya, kehadiran lebih banyak mahasiswa Australia di Indonesia juga merupakan investasi bagi hubungan kedua negara dalam jangka panjang. "Mereka ini (mahasiswa Australia dan Indonesia) akan menjadi fasilitator dan calon pemimpin kedua bangsa yang paham negara tetangga terdekatnya," kata Agus. Hal yang menjadi keinginan Indonesia seperti disuarakan Agus Sartono, yang kini menjabat Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Internasional Kementerian Pendidikan Nasional RI di Jakarta, tidak bertepuk sebelah tangan. Setidak-tidaknya sinyal bahwa akan lebih banyak warga Australia yang belajar tentang Indonesia justru disampaikan oleh PM Rudd saat ia berbicara di Pusat AustralAsia Masyarakat Asia (ASAC) di Sydney 4 Juni. Pemimpin Australia yang akan berkunjung ke Jakarta dari 12 hingga 14 Juni 2008 itu menekankan bahwa kedudukan bahasa Indonesia sangat penting di antara bahasa-bahasa Asia yang menjadi target program pengajaran bahasa di sekolah, katanya. Sejauh ini sudah ada sekitar 170 ribu siswa Australia yang belajar bahasa Indonesia di sekolah-sekolah milik pemerintah. Ditilik dari signifikansi, bahasa Indonesia hingga kini masih dianggap sebagai salah satu dari puluhan bahasa asing yang layak untuk diajarkan hingga ke tingkat universitas. Delapan universitas terkemuka di Australia yang tergabung dalam "Kelompok Delapan" (G8) bahkan memberi perhatian besar pada pelestarian pengajaran bahasa-bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia, di tingkat perguruan tinggi unggulan negara itu. Koordinator Program Bahasa Indonesia di Sekolah Studi Bahasa dan Budaya Komparatif (SLCC) Universitas Queensland (UQ), Prof Helen Creese mengatakan, perhatian "Go8" pada upaya pelestarian dan pemajuan pengajaran bahasa-bahasa asing itu diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif poin masuk universitas. Insentif poin itu diberikan kepada para lulusan SMA yang berhasil menyelesaikan program LOTE di kelas 11 atau 12 ketika mereka mendaftar di salah satu universitas anggota "Go8" untuk mengambil program studi bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia. Sebagai anggota "Kelompok Delapan" (Group of Eight), UQ juga "memperkenalkan skema bonus poin" kepada para lulusan SMA yang berhasil menyelesaikan program LOTE ketika mereka mengambil program studi yang sesuai di UQ, kata Helen. Hanya saja, menurut editor buku "Seabad Puputan Badung: Perspektif Belanda dan Bali" bersama Darma Putra dan Henk Schulte Nordholt (2006) ini, animo mahasiswa Australia untuk belajar bahasa Indonesia di UQ cenderung menurun pasca-krisis ekonomi dan serangkaian aksi terorisme. Jika pada 1996-1997 jumlah mahasiswa baru yang mendaftar di program studi bahasa Indonesia UQ mencapai 80 orang, setahun setelah Indonesia dilanda krisis moneter 1998, jumlahnya turun menjadi 40 orang, kata pakar Sastra Bali dan Indonesia itu. "Pada 2007, jumlah mahasiswa yang mengambil program studi bahasa Indonesia hanya 15 orang dan tahun ini (2008) turun menjadi 11 orang," kata Indonesianis yang sedang meneliti sejarah Sastra Bali itu. Dibanding jumlah mahasiswa yang mengambil program studi bahasa asing lainnya di UQ seperti bahasa Spanyol, Rusia, dan Jerman, jumlah mahasiswa Australia asal Queensland yang mengambil program studi bahasa Indonesia relatif kecil. Relatif rendahnya jumlah mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia di UQ itu tidak semata-mata disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik-keamanan Indonesia yang membentuk persepsi tersendiri di kalangan generasi muda dan orangtua, tetapi juga disebabkan oleh faktor ketersediaan calon mahasiswa. Faktor ketersediaan calon mahasiswa itu berhubungan dengan kondisi pengajaran bahasa Indonesia di SMA-SMA Queensland. Helen mengatakan, bahasa Indonesia umumnya hanya diajarkan di sekolah-sekolah yang ada di luar daerah metropolitan Queensland, sedangkan sekolah-sekolah di kawasan metropolitan cenderung mengajarkan bahasa-bahasa asing lain. Kebijakan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Autralia (DFAT) memberlakukan "travel advisory" (nasihat perjalanan) level empat terhadap Indonesia sejak 2001 juga ikut mempersulit, katanya. "Travel Advisory" ini tidak hanya menyulitkan para guru dan siswa Australia, tetapi juga para akademisi seperti dirinya untuk pergi ke Indonesia karena mereka harus mengantongi izin khusus pihak sekolah atau universitas, katanya. Akibat pemberlakuan "Travel advisory" level empat itu, program pelatihan bahasa Indonesia bagi para guru bahasa Indonesia di SMA-SMA Australia awal tahun ini harus dilaksanakan tidak di Indonesia sebagai negara asal bahasa tetapi di Darwin, Northern Territory, kata Indonesianis lulusan Universitas Nasional Australia ini. Pemberlakukan "Travel Advisory" yang dimaksudkan DFAT untuk melindungi keselamatan warga negara Australia di luar negeri sepatutnya tidak menghambat komitmen Canberra dan Jakarta untuk memperkuat hubungan dan kerja sama di berbagai bidang. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008