Mataram (ANTARA News) - Terungkapnya "borok" dilingkup aparat penegak hukum Kejaksaan Agung dalam dua pekan terakhir ini tidak terlepas dari peran serta keberanian terdakwa Artalitha Suryani, yang berhasil dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Terlepas status Artalitha Susryani saat ini sebagai terdakwa dalam kasus suap BLBI, tetapi sosok Artalita yang memiliki jaringan luas dengan petinggi Kejaksaan Agung telah mampu mengungkapkan suatu mafia hukum, yang selama ini selalu disangkal, sehingga yang bersangkutan patut mendapatkan penghargaan dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono," kata pengamat hukum dan politik Universitas Mataram, H Satriawan Sahak, SH MHum kepada wartawan di Mataram, Selasa. Dikatakan, dirinya semula sangat geram dengan keterlibatan wanita cantik tersebut, saat nama Jaksa Urif Tri Gunawan tertangkap basah oleh pihak KPK saat menerima suap kasus BLBI. Nama terdakwa Arthalitha Suryani yang disebut-sebut sebagai perantara suap dan pembicaraannya dengan sejumlah petinggi dilingkup Kejaksaan Agung dipublikasikan media massa, membuat dirinya berfikir untuk tidak lagi marah, dan sebaliknya merasa salut atas keberaniannya. Menyimak lebih lanjut pembicaraan Artalita Suryani dengan sejumlah petinggi Kejaksaan Agung, sebagaimana yang berulangkali ditayangkan di media televisi, telah membuka serta membantu KPK untuk memberantas mafia-mafia jual beli hukum, yang selama ini sulit untuk diungkapkan. Dari pembicaraan Artalitha yang terekam alat penyadap KPK dengan sejumlah petinggi Kejaksaan Agung itu, sangat nyata bagaimana mental pejabat penegak hukum untuk memperjualkan hukum, demi kepentingan diri sendiri ataupun kelompok tertentu. "Selama ini, sangatlah sulit untuk mengungkapkan sinyalemen terjadinya jual-beli hukum dalam penegakan hukum di negara yang berlandaskan hukum ini, dan Arthalita Suryani menjadi pion pertama yang berani mengobok-obok Kejaksaan Agung, sehingga patutlah dia diberikan suatu penghargaan dari pemerintah," katanya. Lebih lanjut, Satriawan sahak menyatakan, penghargaan yang diberikan itu bukanlah sebagai dukungan atas tindakannya yang melanggar hukum tersebut, tetapi keberanian untuk mengungkapkan kejadian yang dilakoninya selama ini dengan para aparat penegak hukum dilingkup Kejagung. Mungkin saja, masih banyak "Artalitha-Artalitha" lainnya di lingkup Kejaksaan Agung, ataupun institusi penegak hukum lainnya, seperti Kepolisian, Pengadilan maupun kehakiman atau Mahkamah Agung. Tetapi yang berani mengungkapkannya secara gamblang tentu sesuatu yang sangat sulit. Keberaniannya Artalita tersebut mempertaruhkan banyak hal, terlebih keselamatan jiwa sendiri ataupun anak dan suaminya. Tanpa keberanian yang luar biasa, tentunya Artalitha bisa berdiam diri, seribu bahasa. Dan tidak akan ada pernah yang tahu borok di institusi Kejaksaan Agung itu. Dengan penghargaan kepada Artalitha Surayani, diharapkan akan muncul artalitha-artalitha lain di institusi penegak hukum, yang selama ini disinyalir juga marak dengan perdagangan hukum. Hukum yang seharusnya Panglima, justru telah diperjual-belikan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab, katanya. Mengenai usulan Wapres agar di Kejaksaan Agung itu dilakukan perombakan dengan menampilkan wajah-wajah baru, Satriawan Sahak menyatakan, hal itu bukan solusi yang terbaik. Siapa pun yang ditempatkan disana, tanpa memperbaiki sistem lebih dulu, maka sulit diharapkan adanya perubahan yang signifikan. Misalnya saja, sistem rekrutmen calon pegawai. Seharusnya "permainan" yang terjadi selama ini harus dihapuskan. Meskipun fakta di lapangan sering ditepis oleh pejabat. Sehingga mental dan karakter pegawai yang direkrut tersebut akan mengulangi tindakan-tindakan seniornya, yang sudah lebih dulu melakukan tinakan tidak terpuji itu. "Orang akan berfikir wajar bila pegawai di suatu institusi melakukan pungli atau korupsi kecil-kecilan guna mengembalikan modal, yang digunakan saat akan diterima. Pemikiran yang salah itu hanya bisa diberantas bila sistem rekruitmenya juga dibenahi," katanya. Ditambahkan, sudah bukan rahasia lagi bahwa untuk bisa masuk menjadi Pegawai Negeri Sipil, Polisi, Tentara, Kejaksaan dan Kehakiman, memerlukan sejumlah dana. Kalau fenomena yang sedemikian terus dibiarkan, dan dianggap wajar, maka dapat dipastikan negeri ini akan terus terpuruk. Penegakan supremasi hukum itu hanya wacana dan impian belaka, kata Satriawan Sahak.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008