Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Andreas Pareira, di Jakarta, Sabtu, mengingatkan Pemerintah beserta para penegak hukum jangan terjebak permainan dramatugi politik terkait penanganan sejumlah kasus hukum yang menyita perhatian publik belakangan ini. "Kami sebagian besar di Dewan melihat seperti ada dramaturgi politik di balik berbagai aksi, mulai pentas kekerasan di Kampus Universitas Nasional (Unas) oleh aparat Polri, insiden anarkis di Lapangan Monas oleh kelompok berbaju agama, lalu lahirnya SKB penghentian sebagian kegiatan sekelompok beragama, kini `penyerahan diri` mantan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN) terkait pembunuhan aktivis HAM, Munir," katanya. Legislator dari daerah pemilihan Provinsi Jawa Barat ini juga mengingatkan tentang semakin tingginya `melek politik` di ranah publik sekarang. Karena itu, katanya, berbagai aksi yang kian keras, terutama pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beserta berbagai kebutuhan pokok lainnya, jangan dijawab hanya dengan dramaturgi politik. "Publik tidak bisa lagi dibohongi oleh aksi dramaturgi politik, termasuk pengalihan-pengalihan perhatian atas adanya masalah bangsa yang sebetulnya butuh penangan serius, tuntas dan terintegrasi," katanya. Karena itu, ia berharap, jangan lagi cara-cara lama dalam pengalihan situasi melalui berbagai aksi dramaturgi itu jadi `barang jualan` di era sekarang. "Ini hanya akan menimbulkan instabilitas, yang merusak tatanan demokrasi serta pembangunan kebangsaan ke depan. Padahal, semua ini hanya karena untuk mengamankan sebuah kepentingan bersifat sesaat," katanya. Empat Babak seteleh kenaikan harga BBM Andreas Pareira membeberakan dramaturgi politik pasca kenaikan harga BBM dengan cepat telah berlangsung dalam empat babak. "Babak pertama, unruk mengalihkan perhatian rakyat terhadap gelombang demo mahasiswa akibat kenaikan harga BBM, apalagi setelah aksi kekerasan aparat di Kampus Unas, terjadi insiden atau tepatnya "tragedi Monas" dengan aktor utama Munarman (Panglima Komando Laskar Islam), yang telah mengorbankan wajah pluralitas Indonesia," katanya. Babak kedua ialah demo mahasiswa (berhasil) diredakan, muncul aksi Front Pembebasan Islam (FPI) beserta jaringannya. "Namun, karena aktor yang berjasa dalam dramaturgi `tragedi Monas` ini justru terpojok oleh opini anti kekerasan, maka untuk memuaskan FPI, lahirlah SKB soah Ahmadiyah," katanya. Babak ketiga, pasca lahirnya SKB itu, jelas membawa korban. "Ahmadiyah yang sudah digebuk FPI, digebuk pula dengan SKB tersebut atas nama pemerintah. Untuk mengobati kekecewaan pendukung dan penegak HAM, pendukung demokrasi-pluralis, perlu dimainkan lakon baru," katanya. Karena itu, jadilah kartu `penyelesaian` kasus Munir dengan `aktor` Muchdi PR dipentaskan. "Sekedar catatan saya, saat ini kita sedang menyaksikan babak keempat dramaturgi politik kita dengan peran utama Muchdi PR yang mantan Deputi V BIN itu," kata Andreas Pareira.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008