Jakarta (ANTARA News) - Hasil survei nasional oleh Indo Barometer membuktikan, mayoritas responden pemilih atau sekitar 61,3 persen masih akrab dengan menyoblos, dan hanya 24,6 persen paham dengan cara baru memberikan suara, yakni dengan memberi tandang centang atau contreng.

Hal ini merupakan salah satu hal yang mengemuka pada diskusi tentang "Pengetahuan dan Harapan Masyarakat terhadap Pemilu 2009" oleh Indo Barometer, di Jakarta, Minggu.

Diskusi yang digelar dalam rangka pemaparan Hasil Survei Nasional 16-26 Desember 2008 itu, menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, telah membuka perspektif semua pihak, terutama penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu), tentang masih sangat pentingnya sosialisasi secara lebih impresif kepada publik.

"Waktu pengumpulan data antara tanggal 16 hingga 26 Desember 2008, dan survei ini dilaksanakan di 33 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden sebesar 1200 orang (`margin of error`) sebesar tiga persen pada tingkat kepercayaan 95 persen," jelasnya.

Satu hal lagi, menurutnya, responden dipilih dengan metode `multistage random sampling` untuk menghasilkan responden yang mewakili populasi publik dewasa Indonesia.

Selain M Qodari, diskusi dengan pers itu menghadirkan pula Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hafiz Anshari, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu), Bambang Eka, dan Direktur CETRO, N Hadar Gumay.

"Satu hal yang juga menarik perhatian kita, ternyata hanya sekitar 51,8 persen dari responden pemilih (1200 orang dari 33 provinsi di Indonesia) yang mengetahui, bahwa Pemilu Legislatif (Pileg) akan digelar bulan April 2009," ungkapnya.

Artinya, tambahnya, baru separuh (51,8 persen) dari pemilih yang mengetahui dengan benar kapan Pileg 2009 dilaksakan. "Ironisnya, ada 25,5 persen tidak tahu atau tidak menjawab," katanya lagi.

Sementara itu, kembali ke soal menyoblos dan menyontreng, menurutnya, tampaknya masyarakat Indonesia memang masih akrab dengan cara lama. "Bisa saja karena sosialisasi dari pihak-pihak yang berkompeten, kendati pun sudah gencar, tetapi belum mencukupi," ujarnya.

M Qodari dan stafnya juga mengungkapkan, kalau Undang Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu tidak direvisi, ada potensi sekitar 60 persen suara rusak.

"Mengapa? Karena ada sekitar 60 persen responden itu yang menganggap memberi tanda pada gambar partai dan nama calon anggota legislatif (Caleg) secara sekaligus, keduanya, adalah sah. Jika pemilih berjumlah 170 juta, berarti kan potensi suara tidak sah adalah 102 juta," katanya mengingatkan.

Dari kompilasi data selengkapnya, menurutnya, 60,8 persen responden memang menyatakan sah jika dia memberi tanda (menyoblos atau menyontreng) pada gambar serta nama Caleg sekaligus, atau kedua-duanya itu.

"Hanya 28,7 persen yang mengakui, cara itu tidak sah, dan selebihnya, 10,5 persen tidak tahu atau tidak menjawab," ujarnya.

Sementara itu, 64,3 persen pemilih menyatakan, memberi tanda (menyoblos atau menyontreng) hanya pada gambar partai saja, itu sudah sah, dan 24,3 persen berpendapat tidak sah, selebihnya (11,5 persen) tidak tahu atau tidak menjawab.

"Persoalan di sini, adalah, jika misalnya jumlah pemilih sebesar 80 persen (136 juta), lalu 60 persen tetap yakin bahwa memberi tanda (menyoblos atau menyontreng) sekaligus pada gambar partai dan nama Caleg itu dianggap sah, berarti potensi suara tidak sah adalah mencapai 81,6 juta. Ini luar biasa dan ini bisa membuat `anarkhi Pemilu`," tandas M Qodary.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009