Bandarlampung (ANTARA News) - Media cetak berkala yang terbit mingguan atau dua mingguan di Provinsi Lampung, dituding sejumlah pihak menjadi alat provokasi politik menjelang pemilu gubernur (pilgub) Lampung yang memanfaatkan kekuatan sekaligus kelemahan media massa tersebut untuk agenda politik maupun bisnis mereka. Penilaian itu diungkapkan kalangan akademisi, politisi, pengamat media, praktisi dan aktivis LSM, di Bandarlampung, Senin, setelah melihat sejumlah kasus terkait calon kepala daerah di Lampung yang belakangan turun naik diberitakan khususnya oleh media cetak mingguan itu. Sejumlah politisi dari Partai Pembebasan Rakyat Nasional (Papernas) maupun Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Lampung, mengaku memiliki personel yang antara bertugas khusus memantau dan membedah isi pemberitaan dan tulisan di media massa cetak terbit di daerahnya itu. Umumnya media cetak besar (mainstream) di Lampung dinilai, masih dapat menyembunyikan kecenderungan mendukung atau menolak keberadaan calon kepala daerah tertentu yang akan bersaing dalam pilgub Lampung tahun 2008 itu. Hasil bedah media cetak di Lampung yang dilakukan itu, antara lain menunjukkan adanya media mingguan yang justru menjadi tendensius dalam pemberitaan terhadap calon tertentu namun sebaliknya cenderung memuji calon yang lain. "Media cetak seperti itu bisa berbuat provokatif melalui pemberitaan dan tulisannya untuk mengarahkan agar pembaca mendukung salah satu calon, sehingga menjadi tidak sehat, tidak objektif dan tidak berimbang. Tapi untuk memperkarakannya masih agak sulit," kata salah satu politisi itu pula. Ketua Papernas Lampung, Rachmat Husen DC mencontohkan, salah satu wartawan sebuah media cetak di Lampung bahkan pernah mengakui, tidak berkutik dengan kebijakan pimpinan medianya kepada elite politik tertentu, sehingga yang bersangkutan tidak akan diberitakan yang kurang baiknya dan hanya yang baik-baik saja. Pengamat media dan politik, Suwarno Utomo, menilai di Lampung terdapat media massa yang menjadi partisan, alat kepentingan politik dan bisnis elite dan pihak tertentu, serta digunakan untuk mengkampanyekan calon kepala daerah atau parpol tertentu. Wajar kalau media bersangkutan digunakan sebagai "alat" politik dan bisnis di dalam pemberitaannya. Akademisi dari FISIP Universitas Bandarlampung (UBL), Drs H Jauhari M Zailani MSc, menilai tarikan kepentingan bisnis dan politik adalah bagian perjuangan menegakkan idealisme pers sejak dulu sampai sekarang dan selanjutnya tanpa pernah berakhir. Tapi ironisnya, banyak wartawan dan media massa itu justru tidak berdaya menghadapinya. Menurut dia, kekuatan dan posisi strategis media massa dan para wartawan itu, mendorong berbagai pihak untuk memanfaatkan atau memanipulasi informasi di dalamnya. "Tidak sedikit orang yang kemudian bisa mendirikan media massa sendiri, baik media cetak, elektronik termasuk televisi, sebagai corong dan juru bicara kepentingan bisnis dan politik tokoh bersangkutan," demikian Jauhari, yang fenomena itu dibenarkan pula oleh Suwarno Utomo. Padahal menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung, Juwendra Asdiansyah, media massa itu harus tetap mengabdi kepada kepentingan publik dan harus menghindari sikap tidak independen dan bias menghadapi tarikan politik dan bisnis di dalamnya. "Media massa dan wartawan bisa saja berpihak pada kekuatan politik tertentu atau calon tertentu, dengan alasan yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Tapi keberpihakan itu tidak dalam bentuk pemberitaan yang harus tetap faktual dan objektif serta berimbang, melainkan dalam editorial atau tajuk maupun tulisan opini pada media bersangkutan," kata dia lagi. Tapi dia juga mengingatkan, para wartawan dan media massa itu tidak dibolehkan sesuai ketentuan kode etik jurnalistik dan prinsip dasar jurnalisme, untuk menjadi partisan. Media massa dan wartawan yang partisan dan "berdagang" dengan produk jurnalistik yang dihasilkan demi tujuan politik atau kepentingan bisnis seorang atau kelompok tertentu, pada akhirnya hanya akan ditinggalkan oleh publik karena produk yang dihasilkan tidak akan memberikan manfaat.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008