Singapura (ANTARA News) - Harga minyak naik lagi, Selasa, diperdagangkan di atas 140 dolar per barel setelah dolar AS melemah dan ketegangan politik dunia mendorong harga ke rekor tinggi, para analis menyatakan. Kontrak berjangka minyak utama New York jenis light sweet pengiriman Agustus, diperdagangkan 55 sen lebih tinggi pada 140,55 dolar per barel setelah mencapai rekor baru 143,67 dalam perdagangan yang hiruk pikuk pada Senin di New York Mercantile Exchange (Nymex). Kontrak ditutup turun 21 sen pada angka 140,00 dolar per barel di new York. Untuk minyak mentah Laut Utara Brent juga pengiriman Agustus mencapai puncak historis 143,91 dolar per barel sebelum akhirnya turun 48 sen ke posisi 139,83 dolar pada Senin di London. Harga minyak dunia mengalami kenaikan dua kali lipat dalam setahun terakhir dan terus melonjak sejak harga menembus 100 dolar per barel untuk pertama kalinya pada awal tahun ini, memperuncing kekhawatiran seputar inflasi dan juga perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Harga minyak mencapai rekor tertinggi 144 dolar AS per barrel, Senin waktu setempat, menyusul melemahnya dolar AS dan protes atas melambungnya biaya minyak mentah di Eropa. Kontrak berjangka minyak utama New York, minyak mentah jenis "light sweet" untuk pengiriman Agustus, ditutup turun 21 sen pada 140,00 dolar AS per barrel, tidak jauh dari rekor penutupan tertinggi 140,21 dolar AS pada Jumat. Di London, minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Agustus mencatat rekor historis puncak 143,91 dolar AS per barrel sebelum turun kembali pada 139,83 dolar AS, atau turun 84 sen dibanding hari sebelumnya. Tingginya harga minyak memicu protes ratusan sopir truk di seluruh Perancis, Senin, dengan menutup jalan raya utama. Pertemuan minyak dunia Sementara itu, sebuah pertemuan minyak dunia tengah berlangsung di Madrid untuk mencari penyebab tingginya harga minyak dan upaya-upaya mengatasinya. Kongres Perminyakan Dunia yang ke-19 itu dibuka pada Minggu malam, dengan para pemain utama dalam pertemuan itu akan membahas mengenai industri di masa mendatang di tengah lonjakan harga minyak dunia dan kekhawatiran negara produsen dan konsumen. Kongres yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali itu akan mempertemukan ribuan delegasi dari seluruh dunia. Di antara para peserta kongres yang berlangsung empat hari itu antara lain Presiden Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) Chakib Khelil, Sekjen OPEC Abdallah El-Badri,Direktur Eksekutif Lembaga Energi Internasional Nabuo Tanaka, Komisioner Eropa untuk Energi Andris Pielbalgs dan juga beberapa menteri. Mereka itu bergabung dengan para pemimpin kelompok minyak internasional utama termasuk Christophe de Margerie (Total), Jeroen van der Veer (Shell), Rex Tillersondari dari raksasa minyak Amerika Serikat ExxonMobil serta Fu Chengyu dari perusahaan minyak China CNOOC. Agenda yang akan mendominasi selama kongres tersebut adalah topik-topik panas yakni jaminan pasokan minyak dunia, keseimbangan pasokan dan permintaan, cadangan minyak dunia serta lonjakan harga produk-produk minyak sulingan. Namun, sebaliknya para spekulator yang memainkan peranan kunci atas lonjakan harga minyak itu justru tidak masuk dalam agenda. Masalah ini yang menjadi pokok pembicaraan pada pertemuan para konsumen dan produsen di Jeddan, Arab Saudi, akhir pekan lalu. Harga minyak diperkirakan oleh presiden OPEC akan mencapai rekor tinggi baru menembus kisaran 150-170 dolar AS per barel dalam beberapa bulan ke depan. Sebagian besar anggota OPEC tetap menentang terhadap setiap rencana kenaikan produksi mereka dan menuduh para spekulator dan pelemahan nilai tukar dolar telah menjadi penyebab kenaikan harga minyak tersebut, yang telah mengalami kenaikan dua kali lipat dalam 12 bulan terakhir. Negara-negara konsumen menuduh harga minyak tinggi karena ketatnya pasokan di tengah menguatnya permintaan, dan kerusuhan di negara-negara produsen seperti Iran, Irak dan Nigeria. Terutama, mereka menuduh OPEC tidak memproduksi cukup minyak mentah, demikian laporan AFP. (*)

Copyright © ANTARA 2008