Jakarta (ANTARA) - Pengamat lingkungan menilai kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi lagi pada tahun ini memerlukan penegakan hukum tegas untuk korporasi yang telah terbukti melakukan dan membiarkan kebakaran di wilayahnya.

"Penegakan hukum tentu sangat penting, apalagi sudah banyak kasus soal karhutla yang inkrah. Setelah pengenaan sanksi dan denda, harus ada pula pertanggungjawaban dari dampak kegiatan korporasi di lahan tersebut," kata Direktur Wetlands International Indonesia I Nyoman Suryadi Putra dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Suryadi menekankan bahwa penegakan hukum yang tegas menunjukkan bahwa pemerintah serius menangani persoalan karhutla. Hal itu juga harus didorong dengan ketegasan mengawasi kegiatan korporasi supaya nantinya tidak terjadi lagi bencana berulang.

Ia mencontohkan lahan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan yang dikelola korporasi, biasanya akan meninggalkan kanal-kanal besar untuk menyalurkan air keluar dari lahan gambut.

Baca juga: Irwasum Polri ingatkan kolaborasi tangani Karhutla

Hal itu mengancam ekosistem di lahan gambut yang membuatnya menjadi mudah terbakar pada musim kemarau. Namun, membuat area HTI dan kebun di tanah gambut jadi mudah tenggelam ketika musim berganti.

"Harus ada upaya pengawasan ekstra dari lembaga yang berwenang soal kanal-kanal ini. Pada saat ini mungkin yang punya wewenang cukup besar, ya, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pertanian," kata Suryadi.

Kendala BRG

Khusus untuk lahan gambut, Suryadi juga menilai Badan Restorasi Gambut (BRG) masih terkendala kewenangan pengawasan yang terbatas di lahan nonkonsesi dan sebagian konsesi perkebunan.

"Koordinasi soal kewenangan ini mungkin perlu dilakukan. Akan tetapi, yang paling penting adalah penyamaan visi bagaimana lahan gambut yang rentan ini bisa dikelola dan tidak menjadi biang permasalahan tiap tahun," katanya.

KLHK, khususnya, harus mampu berkoordinasi dengan korporasi pemilik konsesi dan mendapatkan data terkini tentang luas operasional mereka di lahan gambut. Titik yang gambutnya sudah kritis serta perlu perhatian lebih harusnya segera diberi pengawasan ekstra untuk penanggulangan bencana saat kemarau dan pascakemarau.

Baca juga: Kabareskrim: Kasus karhutla tak akan ada yang dihentikan

Penyamaan visi serta upaya pengawasan soal pengelolaan lahan gambut di area konsesi ini juga harus dilakukan secara serentak dan terkoordinasi dengan baik.

"Jangan sampai ada satu wilayah yang sudah dikelola baik dan kooperatif, wilayah lainnya justru seakan dibiarkan bertahun-tahun selalu dibakar dan bermasalah. Apalagi, kalau terbukti korporasinya dari luar Indonesia. Tidak akan selesai," kata Suryadi.

Hingga pertengahan September 2019, KLHK sudah menyegel 42 lahan perusahaan yang diduga terlibat dalam karhutla. Sudah ada empat korporasi yang terbukti dan dijadikan tersangka dan dari 42 perusahaan tersebut, beberapa di antaranya memiliki aliran modal dari luar negeri, seperti dari Malaysia dan Singapura.

Baca juga: Mahasiswa Sumsel turun langsung atasi karhutla

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019