Jakarta, (ANTARA News) - Penunjukan langsung (PL) dalam suatu proyek dapat dikatakan sah, jika ada alasan obyektif, kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Dr I Gde Panca Astawa. "Alasan obyektif itu, apakah tujuannya tercapai atau mendesak," katanya saat menjadi saksi dalam persidangan kasus pengadaan kendaraan pemadam kebakaran (Damkar) dengan terdakwa mantan Gubernur Riau, Saleh Djasit, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu. Seperti dalam pengadaan pemadam kebakaran, jika keadaannya mendesak seperti untuk mengatasi kebakaran hutan, penunjukan langsung dapat dikatakan sah. Hal itu, kata dia, mengacu pada Kepres Nomor 18/2000 yang menyebutkan sistem kotrak yang terdiri dari empat jenis, yakni, pelelangan umum, pelelangan terbuka, pemilihan secara langsung, dan penunjukan langsung. "Penunjukan langsung itu, tidak bisa dilakukan secara serta merta," katanya. Ia menilai, saat ini terjadi pemaksaan atau kriminalisasi hukum administrasi perdata untuk dibawa ke ranah pidana. Disebutkan, kondisi demikian merupakan preseden buruk untuk pejabat hingga tidak bisa melakukan inovasi dalam bekerja. "Saat ini, hukum perdata dipaksakan ke pidana. Ini preseden buruk," katanya. Kasus korupsi pengadaan damkar itu, saat Saleh Djasit masih menjabat sebagai Gubernur Riau pada Periode 1998-2004 dan kasus tersebut terjadi pada 2003. Pada Desember 2002, Saleh Djasit menyampaikan nota draf APBD 2003 tentang penjabaran, kegiatan, dan proyek APBD. Dalam nota itu dicantumkan pengadaan tiga unit damkar dengan harga perunit Rp725 juta yang akan dialokasikan untuk Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Rokan Hilir dengan total anggaran Rp2,175 miliar. (*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008