Pangkalpinang (ANTARA News) - PT. Timah sulit berproduksi optimal akibat banyaknya bahan baku bijih timah yang ditahan aparat kepolisian setempat dan belum seragamnya pemahaman semua pihak tentang aturan, sehingga kegiatan eksploitasi kurang jalan. "Sebanyak 1.392 ton bahan baku bijih timah senilai Rp103,6 miliar ditahan sejak beberapa bulan lalu, sehingga produksi jadi terganggu," ujar Dirut PT. Timah Wachid Usman, di Pangkalpinang, Kamis. Ia mengatakan sudah berusaha agar bahan baku tersebut bisa dipinjam pakai untuk dilebur menjadi balok timah namun belum dikabulkan. Untuk memberikan senilai jumlah diatas dalam bentuk bank garansi belum memungkinkan sesuai ketentuan dan kewenangan. "Ya kita tunggu saja lah semua dalam proses. Mudah-mudahan saja bahan baku itu bisa cepat dimanfaatkan. Deposit senilai timah itu normatif," ujarnya. Harga timah dunia yang terus meningkat dipicu terus tumbuhnya permintaan di pasar timah internasional, sementara pasokan terbatas karena negara produsen utama Indonesia dan China membatasi produksi. Selama satu tahun terakhir harga balok timah dunia bergerak naik 40 persen. Padahal sebelum dilakukan penataan dan penertiban tambang timah di Indonesia yang ditandai peristiwa Oktober kelabu di Bangka 2006 lalu, harga timah dunia masih di bawah 8.000 dolar AS permetrik ton. Kepala Administrasi PT. Timah, Dwi Agus, menyatakan, PT. Timah konsisten memenuhi kontrak pengiriman dan kontrak baru tentunya sudah disesuaikan dengan harga yang berlaku saat penandatanganan kontrak meski ada bahan baku dalam jumlah besar yang ditahan. Produksi PT. Timah sebesar 58 ribu metrik ton pada 2007 lalu dan 60 ribu ton pada 2008, akan dipenuhi untuk memenuhi pesanan pelanggan dari berbagai industri utama di negara Asia. Pasar balok timah PT. Timah terbesar kini diserap oleh perusahaan Kinsho Corporation yang mengageni industri otomotif Mitsubishi, selanjutya diikuti LG Internasional untuk industri elektronik dan Daewoo Korea untuk industri otomotif. "PT. Timah pada 2007 lalu membukukan laba bersih usaha sebesar Rp1,65 Triliun," demikian Dwi Agus.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008