Oleh Desy Saputra Jakarta (ANTARA News) - Publik film Indonesia sekali lagi disuguhi film bergenre horor. Film yang diputar serentak di bioskop Tanah Air pada 24 Juli itu, berjudul "Karma". Namun, film itu diklaim penggarapnya sebagai karya sineas dengan penyajian gambaran berbeda dari film sejenis yang menjamur sejak awal 2000-an. "Karma" jauh lebih segar. Film "Karma" produksi Credo Pictures mengangkat drama horor dengan latar belakang kehidupan keluarga Tionghoa. Sang sutradara, Allan Lunardi, dan produser Elvin Kustaman meniatkannya menjadi film horor yang kuat dari segi cerita, tidak mengagetkan penonton dengan musik yang menghentak, tidak ada hantu yang berlari mengejar manusia, atau tawa mengikik hantu-hantu yang membunuh atau balas dendam. Dalam film "Karma" dikisahkan Armand (Joe Taslim) tidak percaya karma yang secara turun-temurun terjadi dalam keluarga kakeknya, Thiong Guan (HIM Damsyik). Padahal, dalam kenyataannya, setiap perempuan di keluarga ini selalu meninggal pada saat melahirkan. Sikapnya yang sejak awal menentang karma, membuat Armand menolak menuruti keinginan istrinya, Sandra (Dominique Agisca Diyose), untuk pindah dari rumah keluarga Guan. Padahal, Sandra memiliki alasan sangat kuat untuk pindah dari rumah itu, karena sering melihat hantu perempuan bergentayangan di dalam rumah. Sejak datang ke rumah keluarga Guan, Sandra mengalami banyak keanehan. Ia dikejutkan suara gemerincing gelang kaki di tengah malam yang disusul penampakan hantu perempuan berpakaian pengantin Cina kuno warna merah. Pada saat yang lain, Sandra mendengar suara-suara perempuan yang menyuruhnya untuk pergi dari rumah itu. Teror terus berlangsung setiap saat dan hantu-hantu itu selalu tampak di berbagai sudut rumah. Armand yang keras kepala menolak keinginan ayahnya, Philip (Henki Solaiman) yang meminta dia meninggalkan Sandra. Philip khawatir Sandra akan mengalami nasib, seperti perempuan lainnya di keluarga Guan. Permintaan itu ditolak Armand karena sang istri tengah mengandung enam bulan. Ia tetap bersikukuh, Sandra tinggal bersama keluarga Guan. Sandra yang tidak tahan dengan keadaan yang menimpanya, diam-diam berusaha mencari tahu latar belakang keluarga Guan yang misterius. Dalam pencariannya, Sandra bertemu dengan juru foto keluarga Guan, Hariman (Adi Kurdi) dan penjaga kelenteng tempat keluarga Guan berdoa, Holianto (Jaya Suprana). Penjelasan rinci tentang keluarga Guan dari kedua orang ini akhirnya mendorong Sandra mengambil langkah demi menyelamatkan nyawa dan janin yang tengah dikandungnya dari ancaman kematian. Cerita film tersebut berangkat dari tema sangat sederhana, yakni sebuah kepercayaan bahwa perbuatan baik akan berbuah kebaikan, perbuatan buruk balasannya keburukan. Apabila belum ada balasannya, maka berarti saatnya belum tiba, sebab hukum Tuhan selalu bergulir, siapa menabur akan menuai. Dalam wawancara usai pemutaran perdana film ini, Allan mengungkapkan ide film ini muncul ketika mereka menemukan sebuah foto tua tentang tradisi etnis Cina pada masa lalu yang menganut pernikahan antara pasangan yang sama-sama sudah meninggal. Tradisi itu, oleh para penggarapnya lantas dikembangkan dalam sebuah film dengan pendekatan horor. Latar belakang budaya Tionghoa sangat kental terlihat lewat simbol-simbol kostum pemain, klenteng, altar persembahyangan, prosesi pemakaman keluarga Tionghoa, dan berbagai ritual sehari-hari yang biasa mereka lakukan. Pemandangan semacam ini menyegarkan mata penonton yang selama ini kerap disuguhi pemandangan belantara, tumah tua yang menyeramkan, atau suasana yang gelap dan suram. Dalam film ini, lewat sentuhan artistik Iri Supit (art director) suasana rumah keluarga Guan tetap terliat normal, terang benderang seperti rumah keluarga kebanyakan, namun tetap terkesan kaku lewat minimnya dekorasi ruang dan perabot rumah yang kuno. "Karma" menggunakan tata musik yang tergolong keluar dari pakem film horor yang selama ini menjamur di Tanah Air. Aksan Syuman yang menjadi sutradara musik menghadirkan musik hanya sebagai atmosfer, tidak mendominasi adegan. Hantu muncul secara tiba-tiba yang biasanya dibarengi suara musik yang menghentak dan mengagetkan tidak mungkin dijumpai penonton dalam film itu. Sang hantu berbusana Cina kuno hanya muncul ketika suara gemerincing gelang kaki terdengar sangat halus dan tidak sampai memembuat penonton menutup telinga. Menurut Aksan, yang mantan personel grup band Potret, musik harus "sadar diri" terhadap kedudukannya sebagai alat untuk bercerita dalam film. Ia menggarap musiknya sebagai pengikut kemana cerita itu berjalan, tanpa mau mengusik dengan suara-suara yang mendominasi adegan. Tak hanya soal musik yang membuat film tersebut terlihat berbeda dari penggambaran sosok hantu-hantu yang bergentayangan di rumah Guan. Para hantu perempuan di film itu bukan menjadi sosok yang menakuti penonton. Ia muncul sebagai bagian dari segi estetika sehingga dari segi wajah dan pakaian tidak berdarah-darah, buruk rupa, atau menyeringai menakuti penonton. Lewat film iitu pula, seperti yang dikatakan Allan dan Elvin, penonton mungkin akan merasakan nikmatnya menonton film horor yang berbeda. Bahkan, film tersebut nyaman bagi penonton yang sebenarnya tidak menyukai film horor. Wajah-wajah segar para pemain, seperti Joe Taslim, Dominique Agisca Diyose, dan Jenny Chang dipadu dengan aktor-aktor senior layaknya HIM Damsyik dan Henky Solaiman terlihat pas memerankan karakter masing-masing. HIM Damsyik yang berakting sebagai Guan tua terjangkit stroke tampil tanpa kata-kata, namun karakternya sangat kuat mewarnai cerita. Joe yang baru saja terjun di dunia film sebelumnya lebih dikenal sebagai atlet judo nasional. "Karma" agaknya menjadi semacam pendobrakan terhadap tradisi film horor Indonesia saat ini. Ia hadir sebagai film yang horor, namun tetap bisa dinikmati dari segi keindahan sebagai karya sinematografi. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008