Jakarta (ANTARA) - Band yang mulanya tampil dari pesta ke pesta, masuk ke dekade 1970-an sudah punya panggung yang lebih pantas.

Sebetulnya, band-band yang hadir di dekade itu bukan tiba-tiba, mereka rata-rata telah terbentuk sejak akhir 1960-an. Namun, baru beberapa tahun setelahnya nama-nama mereka mulai sering disebut. Rock satu sisi menjadi wajah musik nasional

Sebutlah The Rollies, kelompok gitar rancak asal Bandung itu sudah memulai karir bermusik sejak 1967 lewat prakarasa Deddy Sutansyah atau yang populer dikenal dengan nama Deddy Stanzah.

Setahun setelah terbentuk, The Rollies yang diisi Deddy Stanzah, Iwan Iskandar, Tengku Zulian Iskandar Madian, Delly, serta Bangun Sugito alias Gito Rollies, mendapat kontrak rekaman dari label Singapura, Philips Records.

Bersama Philips, The Rollies merilis dua album yakni "The Rollies" (1968) dan "Halo Bandung" (1969).

Sementara di tahun yang sama, arek Suroboyo yang dipimpin Ucok Harahap membentuk kelompok Apotik Kali Asin yang disingkat AKA. Mengajak Soenatha Tanjung, Syech Abidin, Harris Sormin dan Peter Waas, Ucok dan kawan-kawan memainkan musik rock blues seperti Led Zeppelin, Jimi Hendrix, atau heavy metal seperti Deep Purple.

Tiga tahun setelah terbentuk, AKA baru merilis album pertamanya "Do What You Like" yang dirilis oleh Indra Records. AKA dikenal dengan aksi panggung sang vokalis yang eksentrik.

Ada pula nama God Bless, legenda hidup yang sampai hari ini masih aktif bermusik sejak 1970-an. Sepulang dari Belanda, sang vokalis Ahmad Albar memulai band bernama Crazy Wheels bersama Fuad Hassan, Donny Fatah, dan Ludwig Lemans -- gitaris band Albar saat masih di Belanda, Clover Leaf -- yang pada 1973 berganti nama menjad God Bless.

Dua tahun setelah dinamai God Bless, band ini baru merilis albumnya bersama label rekaman Pramaqua.

Baca juga: Histori rock Indonesia, Orde Baru buka keran budaya barat

Baca juga: Cerita kebangkitan Cokelat, album #LIKE! dan konsistensi konsep rock

 
Band The Rollies yang kini digawangi Benny Likumahua serta Yanto membawakan beberapa lagu legendaris mereka saat acara "Tribute To Gito Rollies" di Sasana Budaya Ganesha (SABUGA), ITB, Bandung, Jawa Barat, Rabu(30/4) malam. (ANTARA/REZZA ESTILY)


Mirip-miripan

Akademisi Seni Musik Universitas Pasundan, Djaelani mengatakan meski pada saat itu banyak band yang tumbuh, kebanyakan dari band-band saat itu hanya meniru dengan semirip mungkin band idolanya.

"Kalau dulu itu kontestasinya mirip-miripan, semakin mirip yang asli, baik dari sound, sentuhan melodi, sampai gaya berdandan, itu paling oke," kata pria yang akrab disapa Djae itu.

Semakin mirip dengan yang aslinya, maka band tersebut akan semakin disenangi oleh pendengarnya, maka tak jarang band-band besar yang telah memiliki karya sendiri pun akan tetap membawakan lagu-lagu dari musisi barat.

Giant Step yang dipenggawai oleh Benny Soebardja, salah satu band yang sangat percaya diri membawakan lagu-lagu ciptaannya sendiri di panggung, ketika band lainnya lebih memilih menyanyikan lagu The Beatles, Rolling Stones, Deep Purple, Black Sabbath atau band luar lainnya.

"Giant Step memang kemampuannya luar biasa, dia cuek saja walau membawakan lagu sendiri, orang-orang juga enggak ada yang lemparin mereka," kata dia.
 
Musisi senior rock Indonesia Benny Soebardja beraksi dalam" Djakarta Artmosphere 2012" di Balai Sarbini , Jakarta, Sabtu (10/11) malam. (ANTARA/Pey Hardi Subiantoro)


Baca juga: Jakarta Rock Space hadirkan Godbless, Edane, hingga Jamrud

Baca juga: Gitar Chuck Berry, Elvis hingga Bob Dylan terpajang di museum ini


Kala itu, meski band-band rock memiliki lagu sendiri namun tak semua bisa dirilis menjadi album karena akses ke studio rekaman sangat terbatas, misalnya The Rollies dan Harry Roesli harus rekaman ke Singapura untuk album mereka.

Djaelani mengatakan sebenarnya dibandingkan dengan musik pop, jumlah rekaman musik rock tidak terlalu banyak. Namun mengapa era 70-an disebut sebagai era keemasan rock?

Ia berpendapat karena musik rock saat itu sangat berkembang dan beragam, sementara musik di luarnya, misalnya pop, cukup stagnan.

The Rollies misalnya hadir sebagai grup funk, rock n roll yang sangat fenomenal pada masanya, belum lagi Harry Roesli datang dengan gaya yang berbeda. Harry tumbuh menjadi komunitas sendiri yang berbeda dengan komunitas rock yang muncul saat itu.

"Harry bersama gang-nya memainkan berbagai musik mulai dari pop hingga kontemporer, dia salah satu yang memberikan banyak kontribusi bagi perkembangan musik di Kota Bandung," kata Djae.
 
Anggota formasi awal band rock Black Sabbath (kiri-kanan) Bill Ward, Ozzy Osbourne, Geezer Butler, dan Tony Iommi pada 2011. (ANTARA FOTO/REUTERS/David McNew/ox)


Pada 1975 Harry Roesli juga berhasil menggelar Rock Opera Ken Arok, kemudian lagu-lagu pementasan musik tersebut dirilis pada 1977 di bawah label Eterna.

Musik rock seakan-akan direstui untuk berkembang. Dia digemari oleh banyak orang, panggung pertunjukannya juga masif dan didukung oleh media musik yang saat itu sangat berpengaruh, yakni Aktuil.

Salah satu panggung musik yang fenomenal adalah konser Summer 28 (Suasana Menjelang Kemerdekaan RI ke-28) yang berlangsung di Ragunan pada 16-17 Agustus 1973, yang dihadiri berbagai macam musisi seperti God Bless. Majalah Aktuil juga pernah menggelar konser khusus musik Rock di Bandung dengan nama Pesta Musik Kemarau pada 1975.

Djaelani mengatakan kontribusi majalah aktuil bagi musik rock nasional terbilang penting, God Bless misalnya memang cukup dibesarkan oleh majalah yang didirkan oleh Denny Sabri itu.

Baca juga: Histori rock Indonesia, fenomena musik dari pemancar gelap

Baca juga: Cerita Dara Puspita siasati musik "Ngak Ngik Ngok" ala Barat

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019