Jakarta (ANTARA) - Tak ada percakapan antar karakter namun dibumbui adegan senam, senam irama, seni bela diri, b-boying ternyata sangat ampuh membuat para penonton tertawa terbahak-bahak hingga hanyut dalam drama nonverbal "Flying" di Jakarta, Rabu (16/10) malam.

Selama 75 menit, para aktor asal Korea Selatan dari masing-masing bidang membawa penonton ke dalam tiga cerita yang diawali kisah Hwarang dan Goblin yang menembus waktu.

Hwarang, sebutan pada kelompok pemuda yang dididik menjadi pemimpin melalui pelatihan fisik dan mental pada Dinasti Silla. Mereka juga memiliki latar belakang keluarga dan pendidikan yang baik, juga berpenampilan menarik.

Sementara Goblin, merujuk pada makhluk supranatural dalam dongeng-dongeng yang memiliki kekuatan tidak biasa. Di Korea Selatan, dia seringkali menggunakan kekuatannya untuk menggoda bahkan membantu manusia.

Kisah bermula pada tahun 607 Masehi, saat Raja Jinpyeong dari Dinasti Silla berkuasa. Di suatu pagi para Hwarang berlatih bertarung dan tiba-tiba muncul Goblin yang mengacaukan latihan.

Para Hwarang berusaha menangkap Goblin, mengejar ke mana Goblin pergi hingga salah satu dari mereka ikut sang makhluk ke masa modern melalui gerbang waktu.

Goblin yang tiba di sebuah SMA Silla di abad 21 secara tidak sengaja bertemu sebuah tim pemandu sorak yang sedang mempersiapkan diri menghadapi perlombaan.

Dalam dua cerita berikutnya, ada bumbu adegan romantis antara Hwarang dan salah satu anggota pemandu sorak yang membuat para penonton tersenyum hingga terpingkal-pingkal.
Salah satu adegan dalam "Flying", drama nonverbal asal Korea Selatan yang ditampilkan di Jakarta, Rabu (16/10/2019). (ANTARA News/Lia Wanadriani Santosa)


Belum lagi ada berbagai tingkah konyol Goblin dan kisah cinta tak biasa antara kapten pemandu sorak dan seorang monster bertubuh six pack.

Penampilan para aktor cukup memukau mulai dari kemampuan mereka di bidang senam, senam irama, seni bela diri, b-boying dan pemandu sorak yang mumpuni.

Akting mereka berpadu kostum yang pas membuat cerita tampak nyata. Walau drama ini berasal dari Korea Selatan, namun ada penyesuaian yang mempertimbangkan para penontonnya.

Salah satu yang tampak jelas adalah penggunaan sejumlah kata dalam bahasa Indonesia di beberapa adegan, membuat penonton terasa dekat dengan kisah yang dibawakan para aktor asing itu.

Ini menjadi daya tarik yang biasanya dilakukan para idola K-Pop saat menggelar konser atau jumpa penggemar di Indonesia.

Sesekali para aktor juga melibatkan penonton untuk ikut beraksi di atas panggung, membuat suasana pertunjukan semakin semarak.

Drama ini bagian Festival Korea yang diselenggarakan Korea Foundation mempromosikan budaya Korea Selatan di ASEAN, termasuk Indonesia.

Selain drama atau pertujukan seni, festival ini juga menghadirkan pemutaran film, makanan Korea Selatan.

Baca juga: Drama Korea populer di Indonesia, apa pendapat Kang Sora?
Baca juga: Festival Rumput Perak Seoul akan dibuka pekan ini
Baca juga: KIFF 2019 tampilkan 20 film unggulan pada 10 Oktober

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2019