Jakarta (ANTARA News) - LSM PINTAR (Pemuda Indonesia Tanpa Asap Rokok) meminta pemerintah untuk meratifikasi Konvensi PBB tentang pengendalian tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Ketua LSM PINTAR Asri Al Jufri di Jakarta, Rabu, mengatakan, hingga sekarang pemerintah Indonesia masih enggan untuk mengikuti jejak 160 negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional yang digagas WHO itu. Ratifikasi konvensi tersebut, menurut Asri al Jufri , diperlukan karena jumlah perokok di Indonesia yang terus meningkat. Hasil penelitian WHO tahun 1975-1986 menunjukkan bahwa 75 persen pria Indonesia merupakan perokok, dan dari wanita sebanyak lima persen adalah perokok. Menurut laporan Pengendalian Tembakau ASEAN Mei 2007, peningkatan jumlah perokok di Indonesia rata-rata 4,5 persen per tahun. Jumlah perokok anak-anak (rentang usia 13-15 tahun) mencapai 24,5 persen. Untuk lebih mengendalikan produk tembakau, ia juga meminta DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau, sebagai payung hukum atas berbagai aktivitas pengendalian produk tembakau di Indonesia. Berdasar berbagai data, lanjutnya, aktivitas merokok di tanah air sudah mengkhawatirkan, bahkan banyak yang telah merokok sejak sebelum usia 10 tahun. Hasil survei WHO di 100 negara termasuk Indonesia pada tahun 2004-2006 memperlihatkan terdapat 64,2 persen pelajar SMP yang tercemar asap rokok orang lain (perokok pasif). Sekitar 12,6 persen pelajar setingkat SMP di Indonesia adalah perokok aktif, yang 30,9 persen di antaranya telah merokok sebelum usia 10 tahun. LSM PINTAR juga mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk melarang pemasangan iklan rokok di tempat umum. Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault juga diminta agar mendukung program melindungi masyarakat dari bahaya rokok. Langkah yang bisa dilakukan adalah dengan melarang segala bentuk sponsorhip dan promosi produk rokok dalam berbagai kegiatan olahraga dan kepemudaan. Permintaan serupa juga disampaikan kepada media massa baik cetak, elektronik, dan on-line untuk menolak segala bentuk iklan produk rokok, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi. "Kami juga meminta agar Menteri Perdagangan(Mari Pangestu, red) melakukan pembatasan penjualan produk rokok, serta membatasi umur orang yang boleh membeli dan mengkonsumsi rokok," katanya.. Berdasar data Puslitbang Departemen Kesehatan, jumlah konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 220 miliar batang per tahun. Jika harga per batang Rp500 maka pengeluaran untuk tembakau mencapai Rp110 triliun. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan penerimaan cukai rokok yang diterima negara sebesar Rp32,6 triliun per tahun. Bahkan, menurut dia, rata-rata pengeluaran setiap keluarga untuk membeli rokok mencapai 20 persen dari total pendapatannya. Kalau pendapatan seorang karyawan rendahan atau pelaku usaha kecil misalkan sekitar Rp1,5 juta per bulan, maka anggaran untuk membeli rokok mencapai Rp300.000 per bulan. Angka kematian akibat rokok di Indonesia berdasar data Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok cukup tinggi yakni mencapai 427.923 jiwa atau 1.200 per hari akibat berbagai penyakit yang yang ditimbulkan oleh 4.000 jenis zat berbahaya yang ada dalam setiap batang rokok. Karena itu, lanjutnya, seorang perokok tidak cukup hanya merelakan 20 persen pendapatannya untuk membeli rokok, tetapi juga harus siap dengan pengeluaran yang lebih besar berupa biaya berobat atas berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh kebiasaan buruk tersebut. Malahan para ahli kesehatan memperkirakan pengeluaran untuk mengobati penyakit yang ditimbulkan oleh rokok mencapai 150 persen dari total pendapatan. Dicontohkan, kalau pendapatannya sebesar Rp1,5 juta per bulan, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk berobat adalah lebih besar yakni sekitar Rp2,5 juta per bulan. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008