Jakarta (ANTARA News) - Merpati Nusantara Airline (Merpati) menjadi sorotan dalam sepekan terakhir. Maskapai penerbangan "pelat merah" itu tengah sakit. Pemerintah dan para "dokter" di Kementerian BUMN tengah berupaya keras menyehatkan kinerja keuangan, melakukan pemindahan kantor operasional hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemberitaan seputar si "burung besi" itu mencapai puncak ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat Kabinet (Kamis, 7/8) memutuskan mempertahankan Merpati dengan menyuntik dana hingga Rp300 miliar yang dikucurkan sekitar September 2008. Alasan pemerintah mempertahankan Merpati adalah agar perusahaan yang didirikan pada tahun 1975 itu tetap pada tugasnya yaitu melayani rute-rute penerbangan terutama jalur perintis di wilayah Indonesia bagian timur. Sesungguhnya upaya pemerintah menyelamatkan Merpati yang kian "berdarah-darah" ini telah berlangsung sejak 11 tahun belakangan ini, ketika perusahaan tersebut mengalami defisit keuangan yang semakin besar. Sejak krisis moneter melanda negeri ini, Merpati makin terpuruk tercermin dari utang yang lebih besar dibanding asetnya sendiri. Seiring bermunculannya maskapai penerbangan yang menerapkan sistem layanan "low cost carrier" (LCC), Merpati yang memiliki slogan "a pleasant flight a wonderful place" (penerbangan menyenangkan ke tempat yang indah--red) ini semakin tidak bisa berbuat banyak, karena mesti bersaing dengan perusahaan swasta yang pengelolaannya lebih efisien. Memasuki persaingan maskapai di era penerbangan internasional itu, Merpati memang berupaya meningkatkan performanya dengan menerapkan tiga tahapan yaitu masa "re-engineering" (1999-2000), "profitization" ( 2001-2004), "privatization" (2003-2004). Namun upaya manajemen yang tentunya telah bergonta-ganti ternyata tidak mampu membawa perusahaan ke arah yang lebih sehat. Kerugian terus meningkatn sejak tahun 2002 dan mencapai puncak pada tahun 2006, ketika perseroan yang memiliki 2.590 karyawan ini mencatat defisit Rp283 miliar. Akibat utang yang terus membengkak, memaksa Merpati memangkas rute-rute penerbangannya, padahal di sejumlah daerah terutama di pedalaman jelas-jelas masih membutuhkan "kepakan sayap" Merpati. Menurut catatan Kementerian BUMN, hingga tahun 2007 perseroan memiliki utang sebesar Rp2,1 triliun, dengan modal negatif sekitar Rp1,1 triliun serta total aset yang hanya sekitar Rp952 miliar. Parahnya, perseroan dibebani rugi operasi sebesar Rp20 miliar per bulan. Kondisi tersebut mendorong manajemen perusahaan pada 2003 mengajukan suntikan dana dari APBN ke Merpati dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN). Namun dana talangan sebesar Rp450 miliar baru terkabul tahun 2007 di saat perusahaan dinakhodai Direktur Utama Hotasi Nababan, di bawah kuasa pemegang saham pemerintah yaitu Menneg BUMN Sugiharto. Dengan berbagai opsi penyehatan dan restrukturisasi yang diajukan kepada pemerintah dan DPR, suntikan dana sebesar Rp 450 miliar dengan rincian biaya revitalisasi armada sebesar Rp140 miliar, restrukturisasi utang sebesar Rp180 miliar dan peningkatan produktifitas sebesar Rp120 miliar. Suatu ketika Hotasi pada Rapat Kerja dengan DPR berjanji dana dengan sebesar Rp450 miliar perusahaan diproyeksikan dapat membalikkan keadaan yaitu memiliki arus kas yang positif mulai tahun 2008. Injeksi Komitmen pemerintah mempertahankan Merpati seakan sudah bulat. Wapres Jusuf Kalla juga saat menerima Menneg BUMN Sofyan Djalil dan sejumlah pejabat Merpati dengan tegas memerintahkan agar diambil langkah strategis menyelesaikan masalah Merpati. Pemerintah sendiri menyiapkan dua opsi dalam menyelamatkan Merpati yaitu pertama, pengembangan armada baling-baling untuk dioperasikan di daerah-daerah perintis dan Indonesia bagian timur, dan kedua, evaluasi ulang terhadap sumber daya manusia (SDM). Opsi pengembangan pesawat baling-baling agar bisa membiayai para karyawannya yang masih tersisa pasca PHK, meski pesawat jenis jet pun tetap dioperasikan dan program pengadaan pesawat jet tersebut tetap jalan. Pada tahun ini, Merpati berencana menambah sedikitnya 15 unit pesawat jenis Boeing 737-300 dan 737-400 guna memperkuat penetrasi pasar di dalam negeri dan regional. Jumlah pesawat saat ini belum memadai untuk memperkuat pasar dalam negeri dan pengembangan rute baru di regional ASEAN. Saat ini Merpati memiliki 37 pesawat dari berbagai tipe yakni 22 pesawat jet dan 15 jenis "propeller". Namun, belum genap satu tahun pemerintah memberi dana talangan sebesar Rp450 miliar, Merpati pada September 2008 --di saat Kementerian BUMN dipimpin Sofyan Djalil--, kembali menerima suntikan dana segar sebesar Rp300 miliar. Sebesar Rp200 miliar dari dana tersebut digunakan untuk rasionalisasi sekitar 1.300 orang karyawan melalui program "golden shakehand" dari sebanyak 2.590 orang karyawan. "Dalam rangka restrukturisasi Merpati, tidak ada jalan lain (PHK). Yang penting fokusnya adalah efisiensi perusahaan dengan mengurangi jumlah tenaga kerja," kata Sofyan. Program pengurangan karyawan ini akan membuat rasio satu pesawat terhadap karyawan menjadi 1:40 orang, dari sebelumnya 1:100 orang. "Idealnya 1:40 orang," kata Sofyan Djalil. Anggota Komisi V DPR-RI Adul Hakim mengatakan DPR mendukung rencana restrukturisasi Merpati, namun manajemen harus diawasi dengan ketat dan diberi batas waktu sehingga tidak tergantung pada suntikan modal dari pemerintah. Pertanyaannya, bagaimana pertanggungjawaban dana Rp450 miliar pada tahun 2007 yang diterima sang "burung besi" tersebut? Ketua Komisi V DPR Ahmad Muqowam mengatakan, manajemen Merpati maupun Kementerian BUMN selaku kuasa pemegang saham Merpati harus dimintai pertanggungjawaban dana tersebut. "Merpati harus dimintai pertanggungjawaban terkait pemanfaatan dana PMN pada 2007/2008 Rp450 miliar yang dalam prosesnya juga melibatkan persetujuan dewan," Muqowam. Menanggapi hal pertanggungjawaban alokasi dana Rp450 miliar tersebut, Menneg BUMN tidak berkomentar banyak. "Itu (PMN) menguap aja. Bukan menguap sih... karena defisit arus kas jadi uangnya habis untuk menutup biaya operasional dan kewajiban lainnya," kata Sofyan taktis. Salah urus "Suntik lagi.. suntik lagi.. kenapa tidak suntik mati saja." Menutup Merpati memang tidak gampang, Merpati itu ibarat hidup mati-nya orang-orang di pedalaman Papua yang bergantung pasokan sembako. "Dari pada membebani biaya negara, lebih baik BUMN ini ditutup saja, dananya kan bisa dialokasikan ke program pemerintah yang lain," demikian tanggapan sejumlah anggota masyarakat seperti dikutip dari sebuah media on-line terkait rencana pemerintah itu. Penyelematan Merpati tentu mengundang pro dan kontra. Di satu sisi membebani APBN, tetapi di sisi lain perannya tetap dibutuhkan terutama di daerah pedalaman. Sebagian kalangan menganggap bahwa penyelesaian masalah di tubuh Merpati sulit dilakukan karena praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di perusahaan itu masih terasa kental. Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Arief FX Poyuono mengatakan, mendukung aparat hukum memeriksa dan meminta pertanggungjawaban manajemen terkait pendanaan Merpati. Menurut Arief, Merpati sudah beberapa kali mendapat suntikan dana, tetapi terus memburuk. Ini faktanya bukan karena masalah kelebihan tenaga kerja, tetapi salah urus yang diwarnai praktik kolusi, korupsi dan nepotismen (KKN) yang memberi warisan utang yang tidak terbayarkan. Seharusnya ada audit menyeluruh, kalau terindikasi ada korupsi harus segara diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban hukum. Namun siapa yang harus bertanggungjawab? Dan seperti apa figur direksi atau manajemen yang dibutuhkan untuk mengelola Merpati? Sehari sebelum Rapat Kabinet (6 Agustus 2008) Kementerian BUMN melalui Deputi Menneg BUMN Bidang Logistik dan Pariwisata Hari Susetio merombak susunan direksi dan komisaris perusahaan Merpati. Posisi Dirut yang sebelumnya dijabat Cucuk Suryo Suprodjo digantikan Bambang Bhakti, sedangkan Direktur Operasional Abhy Widya digantikan Kapten Nikmatullah Rahmatul Zaman. Bambang sebelumnya pernah menjabat Dirut Jakarta International Container Terminal (JICT), sedangkan Nikmatullah adalah pilot senior yang telah mengabdi selama 35 tahun di Garuda Indonesia. Posisi yang dipertahankan yaitu Hotlan Siagian Direktur Tenik, Tharian Direktur Komersial, dan Robby Eduardo menjabat Direktur Keuangan dan Jasa. Kementerian BUMN membantah bahwa pergantian direksi dan komisaris Merpati dilakukan mendadak. Staf Khusus Menneg BUMN Alexander Rusli menegaskan, figur baru yang duduk di dewan direksi dan komisaris itu disesuaikan dengan kebutuhan yaitu orang bisa mengambil tindakan keras. "Sedangkan penunjukan komisaris (Said Didu--red) agar pengawasan lebih mudah dan bersifat langsung," kata Alexander.(*)

Oleh Oleh Roike Sinaga
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008