Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 1.820 anggota Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan, Padang Lawas, Sumatera Utara, menolak rencana eksekusi terhadap lahan perkebunan sesuai putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung terkait dengan kasus alih fungsi hutan dengan terpidana DL Sitorus. Kuasa Hukum KPKS Bukit Harapan, Asmadi Lubis SH, di Jakarta, Jumat, beralasan penolakan tersebut karena lahan yang akan dieksekusi tersebut adalah milik anggota koperasi yang sudah memiliki sertifikat serta sudah meperoleh izin prinsip (pengelolaan lahan) dari Menhut berdasarkan SK Menhut No.1680/Menhut/2002 tanggal 26 September 2002. "Selain itu sebagai bukti pengakuan pemerintah terhadap kepemilikan lahan, anggota koperasi telah membayar ganti rugi tegakan sebesar Rp21,85 miliar," kata Ketua KPKS Bukit Harapan Djonggi Sitorus. Menurut Djonggi, petani anggota KPKS Bukit Harapan mempunyai sertifikat sebanyak 1.028 buah atas lahan seluas hampir 23.000 hektar. Lahan seluas tersebut kemudian dijadikan perkebunan kelapa sawit dengan pola bapak-asuh, yakni investor (DL Sitorus) menjadi bapak angkat dengan sistem bagi hasil, sedangkan lahan tetap menjadi milik petani yang juga anggota koperasi. "Lahan tersebut tidak pernah dialihkan kepemilikannya kepada investor termasuk DL Sitorus. Jadi lahan itu tidak dapat dieksekusi oleh kejaksaan, karena lahan tersebut milik petani yang dibuktikan dengan sertifikat dan izin pengelolaan dari Menhut," katanya. Walaupun izin prinsip dari Menhut dicabut tahun 2004, pihak petani mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dan PTUN memenangkan petani. Hal ini dikuatkan lagi dengan putusan Kasasi No.2642 LK/Pid/2006 tanggal 12 Pebruari 2007 yang diperkuat lagi dengan putusan PK tanggal 16 Juni 2008. "Dengan demikian izin prinsip Menhut tahun 2002 diberlakukan kembali," katanya dan menambahkan putusan itu menegaskan tentang kepemilikan lahan oleh KPKS Bukit Harapan. Asmadi Lubis menghargai putusan PK MA yang memperkuat putusan pidana kasasi terhadap DL Sitorus yang dihukum delapan tahun penjara, denda Rp500 juta dan merampas aset lahan seluas 23.000 hektar. Namun harus pula dipertimbangkan dengan putusan MA lainnya yang memberikan izin prinsip pengelolaan lahan kelapa sawit kepada koperasi. "Kita berharap sebelum dilakukan eksekusi, seharusnya terlebih dahulu dilakukan peninjauan atas putusan MA yang saling bertentangan antara putusan PK pidana dengan putusan TUN," kata Djonggi. Menurut Djonggi, pihaknya akan tetap akan mempertahankan lahan milik mereka berdasarkan sertifikat yang mereka pegang. "Kami akan mempertahankan lahan milik kami itu dengan segala upaya," katanya, karena ini menyangkut 50.000 warga masyarakat hidup dan bekerja di lahan tersebut. Koperasi, kata dia, telah menyurati Jaksa Agung Hendarman Supandji pada 17 Juli 2008 tentang permohonan untuk tidak melakukan eksekusi putusan PK MA No.39/PK /Pid/2007 tanggal 16 Juni 2008 yang menguatkan putusan Kasasi Ma NO.2642/K/Pid/2006 tanggal 12 Pebruari 2007 yang telah berkekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti berupa perkebunan Register 40 Padang Lawas, Sumut, yang dimiliki oleh masyarakat anggota KPKS Bukit Harapan. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008