Magelang, (ANTARA News) - Pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, A Tony Prasetiantono mengemukakan, Indonesia bukan termasuk negara yang boros dalam mengonsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di dunia. "Kalau Presiden SBY beberapa waktu lalu mengingatkan, agar tidak boros BBM, itu sebenarnya bukan untuk seluruh masyarakat di Indonesia, karena sebenarnya kita ini bukan negara boros BBM," katanya dalam seminar tentang Ekonomi Global dan Indonesia yang diselenggarakan Bank Indonesia (BI) di Magelang, Jateng, Minggu. Ia menyebutkan, konsumsi BBM Indonesia pada tahun 2008 ini mencapai 1,3 juta barel per hari. "Konsumsi ini sangat rendah kalau melihat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta jiwa. Bandingkan dengan Taiwan yang penduduknya hanya 16 juta jiwa, namun konsumsi BBM bisa mencapai satu juta barel per hari. Padahal Taiwan bukan produsen minyak," kata salah seorang staf ahli di Bappenas itu. Oleh karena itu, menurut dia, tak beralasan jika Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang boros BBM meskipun ada kenaikan konsumsi jika dibandingkan tahun 2007 lalu yang hanya 1,2 juta barel per hari. "Justru pemborosan itu terjadi di Jakarta. Bukan di seluruh wilayah Indonesia," kata Tony dengan meminta langkah pemerintah untuk penghematan BBM tetap harus didukung. Menurut dia, pada tahun 1990 cadangan minyak di Indonesia diprediksi akan mencukupi kebutuhan hingga 17 tahun ke depan atau berarti hanya cukup sampai tahun 2007. Namun kenyataannya, sampai sekarang masih ada ladang-ladang minyak yang masih terus berproduksi. "Hanya sekarang ini sulit mencari ladang-ladang minyak baru. Exxon Mobil di Blok Cepu saja sampai saat ini masih tahap eksplorasi, belum eksploitasi," katanya. Dalam kesempatan itu dia menyampaikan beberapa alasan tingginya harga minyak dunia saat ini, diantaranya dipengaruhi oleh adanya tarik-menarik antara penawaran dan permintaan. Penawaran tersendat karena operator minyak kekurangan insentif harga, bahkan hingga akhir 2002 harga minyak dunia hanya 30 dolar AS per barel, padahal biaya produksi semakin naik karena kian banyak sumur-sumur minyak di lepas pantai. Selain itu tingginya harga minyak dunia akibat pengaruh politik. "Ada spekulasi, harga minyak akan turun, jika Barrack Obama terpilih menjadi Presiden AS, karena dia memiliki perhatian yang cukup besar terhadap krisis yang terjadi di Irak," katanya. Sedang analisis lainnya mengenai tingginya harga minyak terjadi akibat ulah para spekulan yang mampu memanfaatkan informasi dan momentum tatkala penawaran dan permintaan saling berimpitan secara ketat. Kendati selama beberapa hari terakhir harga minyak dunia menunjukkan tren penurunan, namun Tony memprediksi tidak sampai berada di bawah level 100 dolar AS per barel. "Kalau sampai harganya di bawah 100 dolar AS per barel, tentu OPEC akan melakukan perlawanan atau para produsen minyak akan malas berproduksi," katanya. Namun dia menyayangkan, di saat harga minyak dunia sedang melambung, Indonesia justru sedang tidak memiliki produksi minyak yang bisa dijual. "Sebenarnya, kita ini masih punya minyak berapa? Tak seorang pun pengamat maupun pihak Pertamina bisa menjelaskan persoalan ini. Namun yang jelas, Indonesia tidak lagi masuk dalam jajaran negara yang memproduksi minyak," kata Tony menyimpulkan.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008