Jakarta (ANTARA) - Aplikasi pencarian pasangan online Love For Sale masih beroperasi. Setelah mewarnai secuplik hidup Richard (Gading Marten), klien Love For Sale yang hidup lajang dan mencurahkan hidupnya untuk pekerjaan, Arini (Della Dartyan) punya klien baru di sekuel "Love For Sale 2".

Sekuel dari film yang membuat Gading mendapatkan piala Citra sebagai pemeran utama terbaik ini punya tagline "The Most Horror Love Story" lantaran tokoh Arini dianggap sebagai pemberi harapan palsu.

Di linimasa dunia maya, Arini disebut serupa dengan tokoh Summer (Zooey Deschanel) dalam "500 Days of Summer". Summer digambarkan sebagai perempuan yang membuat Tom (Joseph Gordon-Levitt) mabuk kepayang, tapi kisah mereka berujung pahit. Banyak orang yang berpihak pada Tom dan tidak bisa memaafkan Summer. Bertahun-tahun kemudian sang aktor menegaskan bahwa sebenarnya bukan Summer yang salah, tapi Tom yang egois dan tidak mau mendengarkan.

Begitu pula dengan Arini yang hanya menjalani tugas sesuai permintaan klien. Bagai bunglon, Arini menjelma jadi perempuan idaman yang kali ini harus bisa berbahasa Minang, pandai memasak dan piawai mencuri hati ibu-ibu.

Bila Arini digambarkan sebagai sosok misterius di film pertama, ada lapisan lain yang terungkap dalam film kelanjutan ini. Dia bukan cuma perempuan tanpa cela versi klien, tapi penonton bisa melihat sisi manusiawi Arini sebagai dirinya sendiri.

"Saya senang diberi porsi banyak tentang Arini, jadi bisa memperlihatkan sisi lain Arini yang dulu dipertanyakan banyak orang," ujar Della Dartyan, pemeran Arini, usai penayangan perdana di Jakarta pekan lalu.

Dalam "Love For Sale 2", Arini menjelma jadi perempuan Minang untuk memenuhi permintaan kliennya, Indra "Ican" Tauhid Sikumbang (Adipati Dolken). Di antara kakak (Ariyo Wahab) dan adik (Bastian Steel) yang sudah berkeluarga, hanya Ican yang dirongrong ibunya (Ratna Riantiarno) untuk segera menikah.

Aplikasi Love For Sale muncul di hadapan Ican ketika ia sedang bosan menghadapi pertanyaan dan desakan yang itu-itu saja. Arini Chaniago datang dan mengubah suasana hati ibunya yang biasanya uring-uringan soal menantu. Hati Ican, yang tadinya sibuk berganti-ganti pasangan tanpa ada yang serius, juga ikut bergetar.

Sekuel ini lahir setelah melihat antusiasme penonton yang menyaksikan "Love For Sale" lewat layanan streaming setelah tidak beredar di bioskop.

Sutradara Andibachtiar Yusuf mengungkapkan banyak penonton berkata bahwa mereka menyukai "Love For Sale" karena ceritanya yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

"Cowok yang ditinggal saat sedang sayang-sayangnya. Semua orang punya asmara, tapi enggak semua usianya 40-an (seperti karakter Richard)."

"Semua orang punya ibu yang punya harapan untuk anaknya, dan itulah yang dibikin (di sekuel)," kata sutradara yang menyebut film ini sebagai tribut untuk film "Ibunda" dari Teguh Karya.

Cerita "Love For Sale 2" memang akrab dengan keseharian kaum urban dewasa muda yang masih sibuk berkarir, membuat orangtua khawatir buah hatinya akan lupa mencari jodoh.

Pertanyaan "kapan kawin" kadang menghantui para lajang berkepala dua atau berkepala tiga, fenomena yang ditampilkan oleh Ican si tokoh utama.

Di zaman yang serba instan, Ican mencari pertolongan lewat aplikasi online, memesan "calon menantu" agar dia bisa sejenak bernafas tanpa dirongrong tuntutan masyarakat untuk segera berkeluarga.

"Love For Sale 2" terasa dekat dengan keseharian, ini juga terjadi berkat penggambaran Jakarta yang diperlihatkan apa adanya, mulai dari deru kendaraan yang jelas terdengar saat tokoh-tokohnya saling berdialog, makan sate Padang pulang kerja di pinggir jalan hingga suasana kekeluargaan antara tetangga yang kental di pemukiman padat penduduk.

Kali ini, kehadiran Arini di keluarga Ican dapat dinikmati penonton dengan jangkauan usia yang lebih luas karena mengangkat tema besar keluarga. 

Baca juga: Tiga film Indonesia diputar di Festival Film Tokyo 2019
Baca juga: Film bernuansa etnik Indonesia yang mencuri perhatian internasional
Baca juga: Pemuda diajak nobar diperkenalkan industri animasi karya anak bangsa


 

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2019