Jakarta (ANTARA News) - Aturan "parliamentary threshold" atau batas minimal perolehan suara kursi di DPR sebesar 2,5 persen yang terdapat dalam UU Nomor 10/2008 tentang pemilu, bisa memancing amarah masyarakat karena suara yang telah mereka berikan pada pemilu bisa hilang. "Ini bisa membuat rakyat marah sekali," kata Ketua Umum Partai Persatuan Daerah (PPD) Oesman Sapta, di Jakarta, Selasa di sela menjadi pembicara pada seminar nasional Anti Pencucian Uang di Universitas Trisakti. Dengan aturan tersebut, parpol peserta pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan kursi di DPR RI sekurang-kurangnya 2,5 persen dari total kursi di DPR, harus merelakan kursinya diberikan kepada partai lain atau dengan kata lain tidak berhak lagi menempatkan satu pun wakilnya di DPR. Oesman mengatakan, jika rakyat marah maka akan sangat membahayakan keamanan nasional. Ia mengatakan, jika 10 partai masing-masing memperoleh lima kursi di DPR berarti akan ada 50 kursi yang akan diberikan kepada partai lain karena tidak memenuhi PT. Padahal,katanya, sebuah kursi saja memerlukan suara yang banyak. "Artinya rakyat yang sudah memilih dan sudah berkorban selama pemilu, namun wakilnya tidak boleh masuk senayan (anggota DPR)," katanya. Untuk itu, katanya, saat ini 18 partai politik sedang akan melakukan uji materi aturan mengenai PT ke Mahkamah Konstitusi. "Saat ini sedang mematangkan segi hukumnya dan pada 16 Agustus akan dilakukan pembahasan," katanya. Oesman juga mengatakan bahwa ia akan memberikan pengertian kepada mahasiswa dan juga masyarakat mengenai ketidakadilan aturan tersebut. Sementara itu mengenai wacana calon legislatif yang memperoleh suara terbanyak yang berhak sebagai anggota DPR, Oesman mengakui bahwa cara itu cukup adil dibanding berdasarkan nomor urut (caleg dengan nomor urut pertama yang paling berhak menjadi anggota DPR). Namun, katanya, jika aturan suara terbanyak yang dilakukan maka perlu diubah lagi ketentuannya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008