Medan (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) semestinya berani dan secara tegas mengeluarkan fatwa mengharamkan rokok, karena secara substansi rokok sangat identik dengan minuman keras (miras), ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Bintang Reformasi (PBR), H. Raden Muhammad Syafii, SH, M.Hum. "Dari segi substansi hukum sebenarnya tidak ada masalah karena indikator-indikator yang menunjukkan bahwa fatwa itu jauh-jauh hari sebelumnya telah mendapat dukungan juga sudah sangat nyata selama ini," katanya di Medan, Senin. Indikator fatwa itu sesungguhnya mendapat dukungan, menurut dia, dapat dilihat pada setiap kemasan rokok itu sendiri dimana tertulis peringatan dari produsen bahwa "Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin." Kemudian, iklan-iklan rokok pun sama sekali tidak lagi dibolehkan menampilkan gambar orang sedang merokok dan bahkan tidak boleh menampilkan kemasan rokok itu sendiri. "Kini telah ada larangan merokok di tempat-tempat tertentu atau pemisahan antara kawasan merokok dengan kawasan bebas asap rokok. Secara nasional dan bahkan juga dunia juga ada `hari bebas tembakau` dan semua itu merupakan berbagai bentuk pengakuan sekaligus indikator bahwa larangan merokok itu sesungguhnya didukung dari berbagai aspek kehidupan," ujarnya. Dalam Islam sendiri, menurut Ketua Fraksi PBR DPRD Sumut itu, yang dikategorikan haram adalah sesuatu yang lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. "Jadi, dari indikator-indator itu sudah sangat jelas bahwa merokok bukan sesuatu yang baik dan menimbulkan mudarat bagi kehidupan manusia," ujarnya. Dari sisi konsekuensi, katanya, sebuah fatwa semestinya tidak hanya ada "di atas kertas" semata. Ia mencontohkan dalam larangan mengonsumsi miras berikut berbagai razia yang dilakukan, sementara pabrik miras sendiri tetap saja diizinkan berproduksi. Sebuah fatwa, menurut dia, tidak akan bermanfaat banyak jika tidak diikuti dengan kebijakan pemerintah. Namun demikian Raden Muhammad Syafii mengakui adanya persoalan terkait jaringan industri yang berhubungan dengan pendapatan negara sekaligus keberadaan jutaan tenaga kerja jika rokok diharamkan. "Karenanya fatwa itu sendiri harus bisa disinergikan agar bisa diterima secara menyeluruh. Agar fatwa memiliki kekuatan, yang perlu diselesaikan adalah bagaimana mensinergikan segala sesuatunya secara komprehensif dan dalam hal ini MUI harus duduk bersama dengan Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Menteri Perdagangan dan juga dengan Menteri Keuangan," katanya. Pada kesempatan itu ia juga menyatakan sangat tidak sependapat jika fatwa mengharamkan rokok akan dapat menimbulkan perpecahan umat, karena pada dasarnya semua pihak dari berbagai agama dan etnis dipastikan "sepakat" bahwa rokok tidak baik untuk kesehatan. "Siapapun pasti setuju kalau rokok itu merusak. Kini tinggal bagaimana mensinergikan fatwa itu dengan berbagai kepentingan yang ada agar tidak sampai menimbulkan masalah yang tidak diinginkan di kemudian hari," ujarnya. (*)

Copyright © ANTARA 2008