Boleh saja Ronaldinho bermodal segepok resep positif dengan mengumandangkan jargon, "Aku pasti bisa, past bisa...", karena pemain asal Brazil itu tengah menggelar praktek sebagai tabib. Ia paham betul bahwa ada batu ujian saat menjawab pertanyaan nyinyir, "Tabib, sembuhkanlah dirimu sendiri." Apalagi, AC Milan menelan pil pahit setelah kalah 1-2 dari Bologna dalam laga perdana Serie A pada Minggu waktu setempat. Ronaldinho, sembuhkanlah dirimu sendiri. Ini bukan sebatas tuntutan berefleksi diri lebih dulu sebelum beraksi di laga bola, tetapi termuat pandangan berat sebelah ketika memandang ritme dalam waktu, istilah Yunaninya ialah "khronos", yang artinya bentangan yang membujur. Perjalanan waktu bukan melulu meniti detik, menit, dan jam. Waktu terjadi pada satu ketika, atau pada saat sekarang. Apakah tim berjuluk Rossoneri itu mengabaikan pemahaman "waktu topologis"? Kalau "topos", kata Yunani artinya tempat atau kedudukan, maka tim asuhan pelatih Carlo Ancelotti itu mencampakkan makna waktu yang asali yakni "Kairos", artinya saat yang beruntung, saat yang tepat. Il Diavolo kurang beruntung. Dan tabibnya, Ronaldinho. Debut Ronaldinho mengenaskan, jauh dari mengesankan di Serie A. Lawannya pun, Bologna, tim yang terbilang pendatang anyar (newboys). Publik tiba-tiba menarik alur bernalar serial, corak berpikir garis lurus. Jargonnya, bukan lagi "Aku pasti bisa...," melainkan, "Melawan Bologna, mengapa sampai tidak berdaya?" Terbersit harapan, AC Milan yang telah 17 kali menyabet trofi juara Serie A itu diharapkan tampil kinclong, bukan justru mendulang cibiran. AC Milan yang berdiri sejak 1889, di tingkat Eropa membetot tujuh kali juara Piala Champions (1968/69/90/94/2003/2007). Dua kali juara Piala Winners (1968 dan 1973). Empat kali juara Piala Super Eropa (1989/90/95/2003). Juara Piala Interkontinental (1969/89/90). Litani prestasi yang aduhai. Kekalahan atas pasukan berjuluk Rossoblu (Merah-Biru) di stadion San Siro belum dapat dilabel sebagai akhir dari sebuah pertaruhan nama besar. Dunia tidak sedaun kelor bagi tim asuhan Ancelotti. Masih ada harapan, karena bola memiliki perspektif, artinya waktu dihayati dalam saat, dan saat dihayati dalam waktu. Kalah tetaplah kalah, yang lebih penting yakni mengapa sampai kalah. Penghayatan waktu lebih penting ketimbang penghayatan akan peristiwa kalah dalam laga bola. Kalau saja Ronaldinho dibaptis di katedral sejagat sebagai magnet bagi penggila bola, maka angin surga yang dikumandangkan justru berubah menjadi angin neraka. Bukankah masih ada sejumlah nama beken, antara lain Gianluca Zambrotta dan Mathieu Flamini. Kali ini, Dinho boleh berkilah, bola punya logika bahwa ini permainan yang tidak bisa lepas satu sama lain. Bola permainan tim. Sepakbola, bermakna sebagai laga untuk setiap pemain saling menumbuhkan kepercayaan diri, saling membentuk. Ronaldinho tampil bak tabib. Buktinya, ia mampu melepas umpan kepada rekannya Massimo Ambrosini yang kemudian menyundul bola ke gawang lawan untuk membuahkan gol. Berulangkali, aksi perorangan pemain Brazil itu meneror barisan pertahanan Bologna. Ia seakan berkehendak kuat mewujudkan pakem sebagai pemain depan yang haus gol. Bersama dengan Andrei Shevchenko, Dinho berulangkali menggedor barisan belakang Bologna. Badai itu pun akhirnya datang lewat kaki Francesco Valiani yang melepaskan tembakan ke gawang Milan dari jarak 25 yard. Pendukung Milan pun terpana. Penggila Milan seakan terkena badai waktu, yakni mantra seketika. Kemenangan serta merta "berlalu", waktu seakan berjalan lamban. Ini sama situasinya, ketika orang menunggu, tanpa tahu siapa yang sedang ditunggu. Gol Valiani bernilai sebagai peristiwa seketika (in instanti). Ancelotti angkat suara. Ia menyebut kekalahan anak asuhannya itu sebagai ketidakberuntungan. "Saya tetap optimistis. Kami sedang tidak beruntung. Ini laga yang terhitung asing dan tidak biasa meski saya tetap menganggapnya sebagai kejutan," katanya seperti diwartakan AFP. "Sebagai tim, kami tidak berkecil hati. Kami terus menyerang selama 90 menit meski kami akhirnya terhukum dengan dua gol yang disarangkan oleh Bologna. Kami tampil kompak. Ini bukti bahwa kami siap secara fisik. Ini perspektif penting dalam sepakbola," katanya. Ancelotti tidak sedang mengumbar janji dengan sekedar jargon, "Aku pasti bisa, pasti bisa...." Pernyataan itu justru keluar dari segudang pengalaman melewati waktu, menerpa masa dengan melatih di sejumlah klub yakni Reggiana (1995-1996), Parma (1996-1999), Juventus (1999-2001). Sejak 2001 sampai sekarang, ia menangani AC Milan. Ancelotti terus berbunga dan berbuah. Ia seakan menggenapi apa yang dikisahkan dalam buku berjudul The Lord of Ring, karangan Tolkien, bahwa pengalaman melewati waktu membuat seseorang mencecap pengalaman samudera. Dikisahkan bahwa rapat yang diikuti oleh kelompok pohon tampak berlarut-larut. Ini lantaran belum ada peghargaan akan waktu yang intensif. Waktu dan umur tidak hanya ditentukan oleh jumlah tahun, atau hari, atau jam, melainkan bagaimana seseorang menghayati kepadatan dalam perkembangan waktu. Boleh saja Ronaldinho berujar bahwa dirinya ingin tampil sebagai tabib, Ancelotti justru tampil lebih intens, karena ia hidup dan berkembang dengan memakna waktu sebagai kontemplasi. Aksi tanpa kontemplasi, hanyalah hura-hura. Ungkapan ekstremnya, tong kosong berbunyi nyaring. Ujung-ujungnya, tragedi waktu dalam laga bola. Ini yang tidak hendak dilalui oleh AC Milan. (*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008