Nouakchot (ANTARA News) - Penguasa militer Mauritania, yang dikecam di dalam dan luar negeri atas kudeta mereka 6 Agustus lalu, mengumumkan susunan pemerintahan baru Senin (Selasa WIB) hampir satu bulan setelah merebut kekuasaan di negara Islam sahara itu. Pengumuman kabinet 22 menteri itu menyusul pembicaraan yang sulit dengan partai politik dan terjadi di hadapan kutukan internasional yang meluas atas penggulingan tak berdarah Presiden Sidi Mohamed Ould Cheikh Abdallahi. Reuters melaporkan, pemerintah yang ditunjuk oleh militer Dewan Tinggi Negara itu mempertahankan empat menteri penting -- bidang pertahanan, keuangan, ekonomi dan kehakiman -- yang tetap dijabat orang-orang yang dipecat Abdallahi. Junta berkuasa pimpinan Jenderal Mohamed Ould Abdel Aziz juga membawa ke dalam kabinet pejabat dan teknokrat yang telah bekerja dalam pemerintah sementara di bawah kendali militer yang menyerahkan kekuasaan pada pemerintah sipil pada 2007 setelah pemilihan multipartai. Pada 14 Agustus, junta menunjuk Moulaye Ould Mohamed Laghdaf, bekas duta besar untuk Belgia dan Uni Eropa, sebagai perdana menteri. Meskipun kudeta memperoleh sementara dukungan dalam politik yang ada di Mauritania, partai oposisi penting negara itu, Perhimpunan Kekuatan Demokratis (RFD), dan partai lainnya menolak untuk ikutserta dalam pemerintah baru tersebut. Ada beberapa unjuk rasa jalanan menentang junta. Bantuan Ditangguhkan Para penentang mengecam junta karena gagal mengumumkan jadwal waktu yang jelas untuk pemilihan dan tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa anggotanya mungkin akan mencalonkan diri dalam pemilihan yang akan datang, tindakan yang ditentang keras oleh masyarakat internasional. Uni Afrika telah menangguhkan keanggotaan Mauritania dan donor besar seperti Perancis dan AS, yang yang melihat Mauritania sebagai sekutu dalam perang melawan militan Islam, membekukan sementara bantuan bukan-kemanusiaan. Mereka menuntut pembebasan Abdallahi, yang ditahan sejak kudeta, dan pemulihan pemerintah sipil demokratis di negara yang menjadi produsen minyak terbaru di Afrika pada 2006 itu. Menteri minyak dan energi yng baru, Die Ould Zeine, adalah bekas pejabat kementerian keuangan. Kementerian perindustrian dan pertambangan diberikan pada Mohamed Abdellahi Ould Oudaa, yang sebelumnya memimpin perusahan energi dan air swasta. Mohamed Mahmoud Ould Mohamedou, yang ditunjuk sebagai menteri luar negeri, adalah guru besar yang bekerja di AS. Sekjen kabinet baru itu, dengan kedudukan sama dengan menteri, adalah Mohamed Lemine Ould Guig, bekas perdana menteri di bawah presiden Maaouya Ould Sid`Ahmed Taya, yang dirinya digulingkan dalam kudeta tak berdarah 2005. Beberapa dari tim baru itu, yang mencakup Menteri Pertambangan Oudaa, punya hubungan dengan oposisi RFD yang dipimpin oleh politikus veteran Ahmed Ould Daddah. Namun dalam pernyataan sesaat sebelum pemerintah baru itu diumumkan, Daddah menegaskan kembali sikap partainya yang tidak mau ikutserta dalam pemerintah baru itu. "Setiap anggota partai yang setuju untuk berpartisipasi dalam pemerintah akan secara otomatis dianggap sebagai telah mundur dari partai," kata pernyataan tersebut. Pemimpin kudeta Abdel Aziz mengatakan Abdallahi tidak mampu menangani masalah ekonomi yang menekan penduduk Mauritania yang sebagian besar miskin. Harga pangan dan bahan bakar yang meningkat telah memicu kerusuhan jalanan sporadis di negara sahara barat itu, yang di samping itu memiliki persediaan perikanan serta cadangan bijih besi dan emas yang kaya. (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008