Semarang (ANTARA News) - Ketidakpastian waktu eksekusi tiga terpidana mati Bom Bali I Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas juga dialami 43 terpidana lainnya yang saat ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Bahar bin Matar adalah salah satunya. Bahar yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tembilahan, Riau itu terus menua. Di usia 67 tahun, Bahar hanya bisa pasrah menunggu "kematian" setelah 38 tahun menunggu waktu eksekusi. Pihak keluarga pun sudah mulai jarang menjenguknya. Terakhir Bahar dijenguk adiknya sekitar lima bulan lalu. "Seminggu yang lalu, saya ketemu Bahar. Dia bilang sudah pasrah dengan nasibnya," kata Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) Jateng, Bambang Winahyo. Bahar dijatuhi hukuman mati karena kasus tindak pidana perampokan, pembunuhan, perkosaan, dan penculikan pada 1970. Ia kemudian dipenjara di LP Cipinang, Jakarta, sampai tahun 1983. Setelah itu, ia disel di LP Batu, Nusakambangan, sampai sekarang. Tahun 1971, Bahar mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Tahun 1973, lewat Keputusan Presiden Nomor 23/G/ TH tanggal 13 Juni 1973, permohonannya itu ditolak. Pascapenolakan grasi, eksekusi terhadapnya tak kunjung tiba. September 1995, Bahar kembali mengajukan grasi kepada Presiden. Namun, hingga kini belum ada jawaban. Bambang mengaku, tidak mengetahui alasan Bahar harus menunggu waktu eksekusi yang begitu lama. Namun sepengetahuannya eksekusi mati didasarkan pada skala prioritas untuk napi yang berkelakuan tidak baik, selalu mencoba melarikan diri, menyuap petugas, tidak kooperatif, dan membahayakan bagi napi lain atau petugas. Ia mencontohkan, terpidana mati yang tidak berkelakuan baik dan membahayakan bagi napi dan petugas seperti Rio Alex Bullo yang membunuh teman sesama napi. Rio sudah dieksekusi mati Agustus 2008. Menurutnya, pada kasus Bahar yang selama 38 tahun masa menunggu eksekusi mati berkelakuan baik justru menimbulkan rasa iba dari berbagai pihak. Tahun 2007 rombongan Komisi III DPR berkunjung di LP Nusakambangan dan setelah mengetahui nasib Bahar, mereka berharap agar eksekusi mati terhadap yang bersangkutan bisa dipertimbangkan. Namun, kunjungan anggota dewan tersebut tidak ada tindak lanjutnya. Karena memang saat ini belum ada aturan hukum yang menyebutkan terpidana mati bisa menjadi terpidana seumur hidup karena berkelakuan baik setelah menunggu waktu eksekusi lebih dari 20 tahun. Langgar HAM Pakar ilmu hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Solo, Isharyanto, mengatakan, penundaan eksekusi itu sebenarnya bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 yang mengatur ketentuan, tiap warga negara berhak mendapat jaminan kepastian hukum. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum. Oleh karena itu, menurut Isharyanto, diskresi dari jaksa seharusnya dibatasi penggunaannya kalau sudah ada kekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lain. "Dalam kasus tidak lekasnya dilakukan eksekusi, nuansa pelanggaran hak asasi manusianya besar sekali," katanya. Menurut Isharyanto, penantian selama 38 tahun sudah merupakan pidana tersendiri dan Jaksa Agung dapat mengubah hukuman Bahar menjadi pidana seumur hidup atau bahkan tidak perlu menjalani hukuman lagi. Ia menegaskan, memang tidak ada ketentuan vonis hukuman mati dapat dieksekusi setelah berkekuatan hukum. Kewenangan eksekusi mati tersebut ada pada Kejaksaan Agung dengan sifat diskresinya. Namun, menurutnya, implikasi normatif penundaan tersebut bisa melanggar hak asasi manusia dan kasus tersebut bisa dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM, juga bisa proaktif sesuai UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan salah satu fungsi Komnas HAM adalah supervisi dan monitoring hak asasi manusia. "Jadi Komnas HAM harus proaktif jika ada pelanggaran hak asasi manusia," kata Isharyanto. Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga menegaskan, secara hukum, Bahar bin Matar nantinya tetap akan dieksekusi. Kejahatan yang dilakukan Bahar sangatlah keji, kata Ritonga. Ia menjelaskan, Bahar telah melakukan perampokan terhadap satu keluarga, kemudian ibu dan anak perempuan dari keluarga itu dibawa lari. Kedua wanita itu rela diperkosa asal tidak dibunuh. Namun setelah diperkosa akhirnya dibunuh juga. Ritonga menegaskan, belum jelasnya waktu eksekusi mati sehingga Bahar harus menunggu selama 38 tahun karena yang bersangkutan terus mengajukan upaya hukum. Pakar hukum pidana Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof. Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan, saat ini hukuman mati masih menjadi pidana pokok. Namun, ke depan dalam perubahan KUHP ada konsep hukuman mati dikeluarkan dari paket pidana pokok dan ada pengecualian sehingga hakim harus ekstra hati-hati menjatuhkan hukuman mati. Konsep perubahan KUHP tersebut saat ini sudah diajukan ke Presiden, namun hingga kini belum diketahui kapan akan dibahas di DPR. Terpidana lain di LP Nusakambangan, yang juga menunggu waktu eksekusi mati adalah Swabuana alias Adi Kumis alias Dodi bin Sukarno. Swabuana sudah menjalai hukuman penjara selama 16 tahun. Ia di ganjar hukuman mati karena kasus pembunuhan dan pencurian dengan kekerasan. Swabuana sudah ditahan sejak 5 Juli 1991 dan perkaranya diputus MA 27 Agustus 1992. Terpidana hukuman mati Bom Bali I Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas termasuk terpidana mati yang "beruntung". Meski mereka baru menjalani masa pidana kurang dari 10 tahun, eksekusinya telah gencar-disebut-sebut. Kejaksaan pernah menyebutkan bahwa ketiganya bakal dieksekusi sebelum Ramadan, meski akhirnya urung dilakukan.(*)

Oleh Oleh Nur Istibsaroh
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008