Jakarta, (ANTARA News) - Kamis, 4 September 2008, menjadi hari yang mengubah nasib dan jalan hidup Urip Tri Gunawan. Jaksa karir yang sudah 17 tahun mengabdi itu harus menerima putusan pengadilan, dia dinyatakan bersalah dan harus menjalani hukum pidana penjara selama 20 tahun. Majelis hakim yang diketuai oleh Teguh Hariyanto menyatakan Urip terbukti secara sah dan meyakinkan menerima uang 660 ribu dolar AS dan Artalyta Suryani dan melakukan pemerasan sebesar Rp1 miliar terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glen Surya Yusuf. Sejak pukul 09.00 WIB, Urip berada di gedung Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, tempat yang akan menjerumuskan dia ke penjara. Setelah "lepas" dari kawalan petugas KPK, Urip langsung memasuki ruang terdakwa di lantai dua gedung pengadilan itu. Sebagian besar waktunya di dalam ruangan, dia habiskan untuk menuangkan pemikiran dalam sebuah buku agenda. Hanya sesekali Urip mengalihkan pandangannya dari buku untuk kemudian membaca koran. Entah apa yang ditulisnya. Namun, selama menjalani hari-hari sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi, Urip selalu merekam dan menuangkan apa yang terlintas di kepalanya ke dalam tulisan. Bahkan, ketika terduduk di kursi pesakitan menghadap majelis hakim, dia tidak henti menggoreskan pena di setiap lembar kertas. Satu per satu pengunjung sidang mulai berdatangan. Para pencari berita mulai menelisik dan mencari celah untuk dijadikan sebuah cerita. Urip tetap sibuk dengan tulisannya. Ia tidak menghiraukan puluhan pasang mata yang menatap dari luar pintu kaca tempat ia berada. Bahkan, Urip tidak terpancing sedikitpun untuk menoleh meski lampu kilat dari puluhan kamera foto wartawan "menderanya." Hiruk pikuk ternyata hanya terjadi di luar ruang terdakwa. Riuh rendah suara pengunjung sidang dan kilat lampu kamera tidak mempengaruhi kesunyian di dalam ruang terdakwa. Satu-satunya benda bergerak di dalam ruang itu adalah jari Urip yang mengapit pena untuk menuliskan buah pikirannya. Hanya tirai penutup jendela yang sesekali turut bergerak, menemani kesendirian jaksa berusia 42 tahun itu. Sekira pukul 10.00 WIB, seorang petugas menghampiri Urip. Pintu ruang terdakwapun akhirnya terbuka. Petugas tadi mempersilakan Urip untuk berkemas, karena sidang pembacaan putusan/vonis terhadap dirinya segera dimulai. Seperti kebiasaan pengadilan pada umumnya, terdakwa hanya diperbolehkan memasuki ruang sidang hanya jika majelis hakim yang menangani perkara sudah siap dan mempersilahkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan terdakwa. Tanpa menunggu pengulangan perintah, Urip segara bergegas memasuki ruang sidang dengan kawalan petugas. Semua diam, semua mendengar, semua meperhatikan langkah Urip menuju kursi pesakitan. Sekali lagi Urip tidak melupakan buku agenda dan pena. Keduanya ia bawa dan menjadi saksi terdekat yang mampu merasakan gemetar jari dan basah keringat dari pori-pori telapak tangan Urip. Vonis Maksimal Seminggu sebelum pembacaan putusan, Urip mengakui bahwa dirinya tertekan dengan kasus yang sedang dia jalani. Dalam pembelaan pribadi yang dibacakan di hadapan majelis hakim, Urip mengaku kaget dan tidak berselera makan setelah mendengar tuntutan 15 tahun penjara yang dilontarkan tim JPU. "Saya sampai tidak bisa tidur," katanya sembari menambahkan, "Mendengarnya saja seperti penjara seumur hidup bagi saya." Meski mengungkapkan segala penderitaan dalam nota pembelaan, persidangan terus berjalan. Urip harus menghadapi hari pembacaan putusan. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menjerat Urip dengan menggunakan pasal 12 B dan 12 E UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua pasal itu memungkinkan seseorang dijatuhi pidana penjara hingga 20 tahun. Dalam putusannya, majelis hakim berkeyakinan bahwa Urip dengan sengaja membocorkan proses penyelidikan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kemungkinan menyeret pimpinan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim. Urip terbukti membocorkan proses penyelidikan kepada Artalyta Suryani, pengusaha yang dikenal dekat dengan Sjamsul Nursalim. "Terdakwa melindungi kepentingan Sjamsul Nursalim untuk mendapatkan imbalan," kata hakim Andi Bachtiar. Majelis hakim menegaskan, Urip telah dengan sengaja menyarankan kepada Artalyta tentang cara-cara yang bisa ditempuh agar Sjamsul Nursalim tidak perlu menghadiri panggilan pemeriksaan di Kejaksaan Agung. Pertimbangan hukum majelis hakim antara lain didasarkan pada petunjuk hasil sadapan asli yang dilakukan terhadap pembicaraan Urip dengan berbagai pihak melalui telepon. Majelis menyatakan Urip telah menghubungi jaksa Hendro Dewanto untuk membantu mencarikan solusi kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim. Hendro Dewanto adalah anggota tim jaksa BLBI yang berperan dalam menganalisis hasil penyelelidikan kasus itu. Dalam pembicaraan yang terjadi pada 7 Desember 2007 itu, Urip berulang kali meminta tolong kepada Hendro. "Terdakwa berulang-ulang meminta Hendro Dewanto untuk mencarikan jalan keluar kasus BLBI BDNI," kata hakim Teguh Haryanto. Urip juga terbukti menghubungi pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Adi untuk membantu meyakinkan sejumlah jaksa agar perkara BLBI diselesaikan secara perdata. Hakim juga membeberkan pembicaraan Urip dengan Artalyta pada tanggal 25 Februari 2008. Dalam pembicaraan itu, Artalyta menyatakan komitmennya untuk menyediakan sesuatu dengan mengatakan,"Pokoknya aku sudah ready, tinggal tunggu waktu aja." "Itu terkait dengan rencana pemberian uang 660 ribu dolar AS," kata hakim Teguh menambahkan. Majelis menyebutkan, Urip telah beberapa kali menjalin komunikasi dengan Artalyta yang antara lain menyebutkan tentang sesuatu yang akan diberikan kepada Urip. Kemudian, sesaat setelah penghentian kasus BLBI pada 29 Februari 2008, Urip juga menghubungi Artalyta untuk memberitahu bahwa penyelidikan kasus tersebut telah dihentikan, seperti keinginan Artalyta. Dalam pembicaraan itu, Artalyta menyatakan kesiapannya untuk memberikan uang kepada Urip pada Minggu, 2 Maret 2008. Pada hari yang ditentukan itu, Urip ditangkap karena menerima uang 660 ribu dolar AS. Majelis berkeyakinan, pemberian itu terkait dengan penyelidikan kasus BLBI. Saat itu juga, majelis menyatakan UripB bersalah karena memeras mantan Kepala BPPN Glen Surya Yusuf sebesar Rp1 miliar. Pemerasan itu dilakukan melalui perantaraan pengacara Glen, Reno Iskandarsyah. Majelis berkeyakinan, Urip menyatakan bahwa ada kemungkinan Glen menjadi tersangka dalam kasus BLBI. Hal itu bisa disiasati jika Glen mau berkoordinasi dan menyerahkan sejumlah uang. Akhirnya Glen menyerahkan Rp1 miliar kepada terdakwa melalui Reno Iskandarsyah. Berdasarkan fakta yang ada, majelis hakim menilai Urip telah terbukti bersalah. Majelis juga menilai Urip sebagai pribadi yang tidak kooperatif dan selalu memberikan keterangan berbelit-belit. Hakim Teguh Hariyanto menilai perbuatan Urip telah mencemarkan citra penegak hukum, terutama jaksa. Urip juga dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. "Pertimbangan meringankan, tidak ada," kata hakim Teguh Hariyanto yang duduk berhadapan dengan Urip dengan jarak kurang dari lima meter. Sejak itu, Urip mulai tidak banyak membuat coretan di buku kesayangannya. Matanya mulai berkedip lebih sering. Sejak itu pula Urip mulai menundukkan dan mendongakkan kepala dengan pandangan yang jauh menerawang meski di ruang sidang itu banyak sekali obyek untuk dilihat. "Terdakwa Urip Tri Gunawan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," kata hakim Teguh Hariyanto. Urip semakin terdiam, sambil mendengarkan rentetan amar putusan berupa penjara 20 tahun dan denda 500 juta yang harus dia tanggung. Dia belum mengajukan banding atas putusan itu. Selama pembacaan amar di akhir sidang, Urip tidak lagi menorehkan catatan di buku agenda. Ia melipat tangan, bersiap menghabiskan dua puluh tahun di penjara, waktu yang cukup lama untuk kembali bertemu dengan istri dan anaknya yang kini masih berada di dalam kandungan.(*)

Pewarta: Oleh F.x. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008