Oleh Rahma Saiyed Makassar (ANTARA News) - Panas matahari siang itu terasa menusuk kulit, ketika sekelompok umat muslim memadati koridor Masjid Jenderal M. Jusuf Al Markaz Al Islami. Masjid itu menjadi kebanggaan masyarakat Kota Makassar. Para jamaah yang berasal dari berbagai latar belakang itu kebanyakan sedang menghilangkan penat akibat teriknya sinar matahari yang menaungi kota itu. Ada yang tertidur di sudut koridor mesjid, ada yang menikmati pijatan para bocah, beberapa di antaranya membaca buku bernuansa Islami. Tidak sedikit yang sedang membaca kitab suci. Beberapa orang di antara mereka membentuk lingkaran besar. Terpisah dari kelompok lain. Bahasa yang mereka gunakan juga berbeda dengan yang umumnya digunakan di masjid di negeri ini, karena mereka menggunakan bahasa Inggris. Seluruh kegiatan mereka disampaikan dalam bahasa Inggris, termasuk ketika seorang bernama Mia memperkenalkan diri sebagai peserta baru. Setelah perkenalan usai, satu per satu peserta mulai bertanya, mulai dari motivasi dia datang ke Al Markaz untuk bercasciscus hingga harapan dan cita-citanya. Kelompok diskusi bahasa Inggris itu, rutin diadakan setiap sore, tiga kali dalam seminggu, yakni Selasa, Kamis dan Sabtu. Kegiatan kelompok diskusi itu berlangsung sejak 1998, digelar sekelompok anak muda yang tergabung dalam "Al Markaz for Khudi and Enlightening Studies" (Makes). "Makna kelompok ini adalah kita harus mencerahkan diri sendiri terlebih dahulu sebelum mencerahkan orang lain," kata pendiri Makes, Upik Raf, yang juga dosen Fakultas Sospol Universitas Hasanuddin Makassar. Kelompok itu terdiri atas anggota yang berasal dari beragam kalangan, mulai siswa SMA, mahasiswa, hingga pegawai. Tiap peserta diskusi diwajibkan berbahasa Inggris. Mereka diberikan toleransi untuk mengkombinasikannya dengan bahasa Indonesia bila mereka tidak dapat mengekspresikan argumentasinya secara keseluruhan dalam bahasa Inggris. "Biasanya mereka ini adalah pendatang baru dan pada umumnya adalah anak SMA, bahkan ada pula pegawai. Setidaknya, kita menuntut mereka untuk mengeluarkan semua jurus kosakata bahasa Inggris yang mereka miliki sebelum mengungkapkannya dalam bahasa Indonesia," kata Upik. Peserta diskusi ini kemudian dibagi dalam beberapa kelompok kecil, maksimal sebanyak enam orang. Tujuannya, agar setiappeserta mendapat kesempatan untuk mengekspresikan pendapatnya dalam bahasa Inggris. Menjelanng sore itu, setiap kelompok serius mendiskusikan satu topik. Kebetulan topiknya masalah gender. Dari koridor bagian selatan mesjid ini pun terdengar ramai orang berbicara dalam bahasa asing. Bagi kebanyakan jemaah masjid yang melintas di dekat kelompok itu, boleh jadi, diskusi itu tidak bisa dimengerti. Namun, diskusi itu sering menarik perhatian orang untuk langsung bergabung. "Saya tidak peduli soal tata bahasa atau grammar. Yang penting kita bisa bicara dalam bahasa Inggris. Setidaknya, skill saya tidak hilang karena bahasa Inggris itu sebenarnya bisa lenyap bila tidak senantiasa dipraktekkan, Ini kan hanya faktor kebiasaan saja," kata Rusma, pelajar kelas tiga SMA yang bergabung dalam kelompok tersebut. Menurut dia, dalam liburan sekolah di bulan ramadhan ini, dirinya lebih banyak menghabiskan waktu di Al Markaz. Dengan begitu, katanya, sambil menunggu buka puasa bisa menambah ilmu dan menjaga keterampilan berbahasa Inggris. Rahman, alumni mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Makassar (FBS-UNM), mengaku, tujuannya datang ke Al Markaz hanya untuk latihan berbahasa Inggris karena dia mendapatkan kesempatan beasiswa untuk melanjutkan pendidikana ke Australia. "Saya hanya ingin mempermantap `speaking` bahasa Inggris. Kalau tidak dipraktekkan secara berkesinambungan, kita bisa kehilangan atau lupa banyak kosakata," tuturnya. Ketika diskusi telah berjalan sekira satu jam lamanya, seorang pengurus mengumumkan bahwa waktu diskusi telah habis. Tentu, pengumuman itu juga disampaikan dengan bahasa Inggris. Mereka pun segera menyudahi kelompok-kelompok kecil untuk selanjutnya membentuk kelompok besar seperti semula. Setiapkemudian melaporkan kesimpulan hasil diskusi mereka dan kelompok lain menanggapinya. Untuk kesekian kalinya, mereka pun kembali berdebat mempertahankan pendapatnya dalam bahasa Inggris. Setelah semua perwakilan kelompok menyampaikan hasil diskusinya, penanggung jawab kelompok diskusi itu menutup pertemuan seiring dengan mulai terdengarnya kesyahduan tadarus yang terdengar dari lima menara mesjid, yang salah satunya mempunyai ketinggian sekira 87 meter. Pada puncak menara yang terselubung dengan batu granit terpasang pengeras suara yang dirancang oleh tenaga ahli audio dari Jepang agar kumandang adzan terdengar sampai kejauhan. Ketika waktu berbuka puasa tinggal beberapa menit, peserta diskusi berbagasa Inggris itu meleburkan diri bersama dengan umat muslim lainnya di dalam aula masjid. Di hadapan mereka telah tersedia segelas teh hangat, beberapa jenis kue yang siap disantap begitu bedug maghrib ditabuh. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008