Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Politik Univeritas Indonesia (UI) Adrinof Chaniago menilai, kepentingan elit, sekelompok politikus serta intervensi asing selalu mendominasi setiap pembahasan Undang-Undang di DPR, termasuk UU tentang Migas. "Ketika UU itu selesai dibuat, hasilnya hanyalah sebuah kepentingan sempit yang lebih menonjol dan sulit diredam," ujarnya saat berbicara dalam diskusi tentang revisi UU Migas bertema "Membuka Tabir Keterlibatan Asing Dalam RUU Migas" di ruang wartawan DPR, Jakarta, Selasa. Dikatakannya bahwa banyak kepentingan dimasukkan dalam membahas RUU di DPR dan itu dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari lobi-lobi sampai menggunakan agen tertentu. Dengan demikian, dalam setiap pembahasan RUU, berbagai risalah, draft dan masukan-masukan tampak selalu bagus. Namun, pada tahap akhir penyusunan RUU dan disahkan DPR, ternyata produk hukum itu tidak sesuai dengan yang diharapkan dan banyak membuat orang kecewa. "Produk UU dibuat dengan proses politik yang tidak transparan karena menjadi kompromi politik yang tidak untuk kepentingan banyak," ujarnya. Selain itu, tegas Adrinof, pihak asing juga selalu melakukan intervensi pada saat suatu RUU akan dibahas dan akibat intervensi ini kepentingan ekonomi secara nasional kemudian dikorbankan. Bukti adanya keterlibatan intervensi asing dalam setiap pembuatan UU itu ditemukan Panitia Hak Angket BBM yang menemukan bukti keterlibatan lembaga donor bilateral Amerika Serikat (USAID) dalam merancang UU Minyak dan Gas Nomor 22/2001. Dana yang dialirkan untuk pembahasan RUU itu selama kurun waktu 2001-2004 berjumlah 21,1 juta dolar AS atau sekitar Rp200 miliar. Pintu liberaliasai sektor migas di Indonesia kemudian makin terbuka lebar ketika tahun 2000 USAID mengucurkan dana sebesar 4 juta dolar AS untuk mereformasi sektor energi Indonesia. Program ini ditujukan untuk mengurangi peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, dan mendorong keterlibatan swasta di sektor migas. Di tempat yang sama, Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan menyatakan perlu adanya revisi UU Migas nomor 22/2001 yang telah membatasi kewenangan Pertamina sebagai pemain utama (single player) di sektor ini. "UU Migas itu telah membuat kesalahan dengan memberikan kesempatan yang luas bagi perusahaan asing menguasai sektor migas di Indonesia dari hulu ke hilir," kata Dani Setiawan.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008