Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah berpendapat bahwa substansi dari Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA) yang membuat Komisi Yudisial (KY) seakan-akan menjadi subordinat MA. "Di dalam RUU tersebut terdapat hal yang bias yaitu dalam pasal 32 ayat (1) tentang pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan pengadilan terletak di tangan MA. Ini membuat kewenangan KY dalam mengawasi hakim seakan-akan menjadi subordinat," kata Feby kepada wartawan di Kantor LBH Jakarta, Rabu. Oleh karena itu ICW mendesak agar pasal-pasal yang terdapat dalam RUU MA tidak mengurangi kewenangan konstitusional KY yang telah dijamin UUD 1945. ICW juga meminta agar dalam penjelasan pasal-pasal RUU MA disebutkan secara jelas bahwa posisi KY dan MA adalah sejajar sesuai dengan perubahan UUD 1945. Selain itu, ICW menganggap beberapa materi dari RUU MA masih membatasi sejumlah kewenangan KY untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas yudisial dan berpotensi menimbulkan konflik dengan MA. Sementara itu, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Junto juga menolak pasal-pasal dalam RUU MA misalnya yang mengatur tentang seleksi calon Hakim Agung. Dalam Pasal 8 ayat (2a) RUU tersebut disebutkan bahwa calon hakim agung yang diusulkan KY dipilih oleh DPR sebanyak 1 orang dari 3 nama calon untuk setiap lowongan. "Pada prakteknya, selama dua tahun terakhir KY sendiri mengalami kesulitan untuk mendapatkan calon hakim agung yang memenuhi kriteria, oleh karena itu standar perbandingan calon Hakim Agung yang diusulkan KY dengan yang dipilih DPR idealnya adalah dua banding satu atau dua nama calon untuk memilih satu orang sebagai hakim agung," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008