Bandarlampung (ANTARA News) - Dorongan dari berbagai pihak untuk melakukan rekonsiliasi di antara para elite politik di Lampung, dinilai sejumlah pengamat politik dan praktisi hukum masih sulit diwujudkan. Praktisi hukum Dedy Mawardi, di Bandarlampung, Rabu, berpendapat, upaya rekonsiliasi politik di antara para elite dan penguasa yang masih saling berseteru itu sulit dilakukan, jika mereka masih menyimpan "dendam politik" dan menunggu waktu untuk membalaskannya. "Susah untuk rekonsiliasi politik di Lampung kalau mereka-mereka yang berseteru sejak dulu itu, masih ada dendam satu dengan lainnya," kata mantan Direktur LBH Bandarlampung itu pula. Dia kemudian mengajak untuk kembali melihat perjalanan dan sejarah politik para elite di Lampung itu, sehingga nyaris tidak mungkin akan menghilangkan "dendam politik" di antara mereka saat ini. "Saya berpendapat Lampung akan bisa damai, jika para pemimpinnya adalah generasi muda yang tidak punya kaitan dan urusan dengan sejarah konflik politik di antara mereka itu," ujar dia lagi. Menurut Dedy, konflik politik antarelite di Lampung itu masih akan terus berlanjut atau menjadi sulit berakhir dengan melihat kondisi sekarang ini. "Agaknya masih jauh harapan untuk bisa mengakhiri konflik politik di Lampung yang telah terjadi bertahun-tahun terakhir ini," kata mantan aktivis yang kini mencalon sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Lampung itu pula. Ia menilai, selama para tokoh seperti Sjachroedin ZP (mantan Gubernur Lampung yang memenangkan pilgub berdasarkan hasil penghitungan cepat) dan M Alzier Dianis Thabranie (Ketua Partai Golkar Lampung) tetap berada dan mengendalikan pusaran politik di Lampung, konflik itu masih akan sulit diakhiri. Kenyataannya pula, dalam pemilu gubernur (pilgub) Lampung tahun 2008 ini, diperkirakan mayoritas pemilih tetap mempercayai kepemimpinan Lampung pada sosok Sjachroedin ZP sebagai calon pemenangnya. Hal itu justru akan memicu konflik politik di antara mereka mencuat kembali, karena lawan politik masih sulit menerimanya. "Perlu pendidikan politik yang konsisten dan menembus akar rumput ke masyarakat di seluruh Lampung untuk dapat membuat masyarakat menjadi `melek` secara politik, sehingga tidak terjebak dan terseret dalam konflik di antara para elite itu," ujar Dedy Mawardi lagi. Prosedur demokrasi Namun menurut pengamat politik dari FISIP Universitas Lampung (Unila), Drs Syarif Makhya MPP, sebenarnya tidak menjadi soal kalau para aktor politik lama yang dinilai masih saling berseteru itu terus bermain di panggung kekuasaan di Lampung, sepanjang berada dalam prosedur demokrasi yang benar. "Pilgub langsung itulah cara terbaik dalam berkompetisi politik secara adil dan demokratis," kata dosen yang juga Pembantu Dekan I FISIP Unila itu pula. Syarif justru menyayangkan, ternyata pilgub Lampung pada 3 September 2008 lalu sebagai prosedur penyelesaian konflik politik, justru belum terbangun di kalangan elite politik itu sendiri. Menurut dia, dalam tradisi politik modern seharusnya tidak dikenal istilah "dendam politik", karena semuanya dapat diselesaikan melalui mekanisme politik yang demokratis. Dekan FISIP Unila, Drs Hertanto MSi, juga mencemaskan konflik politik di antara para elite di Lampung yang telah berlangsung itu, masih akan berlanjut kendati seharusnya telah dapat diakhiri melalui pemilu gubernur secara langsung. Namun kenyataannya, mayoritas masyarakat yang menjadi pemilih masih tetap memberikan kepercayaan kepada tokoh "lama" dan belum adanya tokoh alternatif yang dapat mereka pilih dalam pilgub itu. "Pilgub Lampung belum berhasil menampilkan sosok calon alternatif yang dimaui masyarakat yang bebas dari konflik tapi diidolakan publik itu, sehingga tokoh yang dipilih adalah mereka yang tetap terkait dengan konflik dan ditengarai masih menyimpan dendam politik lama itu," kata anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung itu pula. Hertanto tetap berharap, apapun hasilnya pilgub Lampung itu harus dapat diterima semua pihak, selama berjalan demokratis dan sesuai aturan main yang berlaku. Dia juga berharap, potensi konflik antarelite di Lampung setelah pilgub itu, hanya sebatas konflik di antara para elitenya saja tapi tidak sampai berimbas kepada masyarakat luas. Kendati KPUD Lampung sampai hari ini belum melakukan rekapitulasi dan menetapkan perolehan suara hasil pencoblosan pada Rabu (3/9) lalu, pasangan Sjachroedin ZP-MS Joko Umar Said diprediksi meraih kemenangan dengan perolehan suara 40-43 persen. Namun, aksi penolakan atas penghitungan cepat itu telah disampaikan enam pasangan cagub dan cawagub lainnya. Mereka menilai pelaksanaan pilgub Lampung diwarnai sejumlah kejanggalan dan pelanggaran, sehingga mendesak lembaga berwenang untuk memproses dan menindaklanjutinya. Kalangan pengamat di Lampung menilai, manuver pasangan calon kepala daerah yang menolak hasil pilgub itu, akan kembali memicu konflik di antara para elite politik itu. Padahal menurut mantan Dekan FISIP Universitas Bandarlampung (UBL), Drs Jauhari M Zailani MSc, semestinya konflik akan berakhir karena pilihan siapa pemimpin Lampung ke depan telah ditentukan oleh mayoritas pemilih pilgub di Lampung itu, bukan lagi bergantung pada para elite politik di daerahnya lagi. Perseteruan politik di Lampung, antara lain disebutkan oleh para pengamat itu masih akan berlanjut antara tokoh politik penting di daerahnya, antara lain Sjachroedin ZP (mantan Gubernur dan calon Gubernur terpilih 2009-2014), M Alzier Dianis Thabranie (gubernur terpilih tahun 2001/2002 tapi gagal dilantik sampai sekarang), Oemarsono (mantan Wagub dan Gubernur Lampung), dan Syamsurya Ryacudu (mantan Wagub, dan Gubernur Lampung sekarang) selama belum terjadi rekonsiliasi secara utuh di antara mereka semua.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008