Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyatakan bahwa pengaruh kebijakan penerapan tarif yang lebih tinggi atau lebih rendah terhadap impor tidak bisa disamaratakan tetapi harus dilihat dampaknya untuk setiap komoditas.

"Saya tidak bisa menentukan bagaimana tarif mempengaruhi neraca perdagangan, karena pengaruh tarif ke setiap komoditas itu berbeda," katanya  di Jakarta, Jumat.

Suhariyanto juga mengemukakan bahwa bila peningkatan atau penurunan bisa terjadi karena beragam faktor.

Seperti misalnya bila ada yang menyatakan bahwa penjualan kendaraan mobil menurun, maka bukan berarti bahwa hal tersebut menandakan menurunnya daya beli dari kalangan kelas menengah.

Hal tersebut, lanjutnya, karena dapat dilihat bahwa jumlah tabungan di masyarakat masih tinggi, sehingga lebih tepat bila dikatakan bahwa warga lebih menahan diri untuk membeli kendaraan.

Namun,  pergerakan harga komoditas yang terkait dengan produk ekspor-impor utama Indonesia di tingkat global akan dapat berpengaruh kepada total nilai ekspor-impor.

Pada Oktober 2019 ini diketahui bahwa harga komoditas nonmigas yang mengalami peningkatan di tingkat global adalah coklat, minyak sawit, dan seng. Sedangkan harga komoditas nonmigas yang mengalami penurunan antara lain adalah harga karet dunia.


Baca juga: Oktober 2019, neraca perdagangan surplus 161,3 juta dolar AS

Sebelumnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengingatkan bahwa harga berbagai pangan termasuk beras akan diperburuk dengan tingginya tarif impor sehingga penting bagi pemerintah untuk melakukan penghapusan hambatan nontarif perdagangan.

"Tingginya harga beras diperburuk oleh tingginya tarif impor. Tarif Rp 450 / kilogram diberlakukan untuk semua jenis beras impor, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6 Tahun 2017. Lalu UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 memprioritaskan pengembangan produksi tanaman pangan domestik. Undang-undang tersebut menekankan pada larangan impor jika produksi dalam negeri cukup untuk memenuhi permintaan," kata Galuh Octania di Jakarta, Jumat (8/11).

Menurut Galuh, Indonesia harus menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam mentaati perjanjian dagang internasional, salah satunya melalui penghapusan hambatan non tarif dan juga menghilangkan restriksi terhadap perdagangan internasional.

Apalagi, ia juga menyebutkan bahwa Indonesia sudah menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) WTO pada 1994 lalu yang menyebutkan kalau hambatan nontarif tidak boleh menjadi pembatasan dalam perdagangan.

Baca juga: Ekspor dan investasi melambat, pertumbuhan ekonomi hanya 5,05 persen

Namun pada kenyataannya, Indonesia justru membatasi impor pada beberapa komoditas, meski pemerintah sudah meratifikasi GATT WTO tersebut lewat UU No 7 tahun 1994, peraturan turunannya justru menjadi hambatan non tarif.

Galuh berpendapat bahwa hambatan tersebut pada akhirnya berkontribusi pada kenaikan harga beras secara signifikan, yang juga memengaruhi asupan kalori orang karena ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan gizi makanan bagi keluarga mereka, terutama orang miskin.

Saat ini, lanjut Galuh, produktivitas beras dalam negeri tidak cukup tinggi untuk menjaga kestabilan harga beras. Produktivitas beras musiman telah berfluktuasi sejak 2013, mencapai rata-rata hanya 5,19 ton/hektare per tahun.

"Selain pembatasan tarif dan UU, impor beras juga dipersulit oleh proses impor yang panjang. Pemerintah telah menunjuk Bulog sebagai importir tunggal beras kualitas medium," katanya.


Baca juga: Pemerintah Siapkan Insentif Tarif Lima Komoditas Manufaktur
Baca juga: Indonesia-Australia jajaki tarif 0 persen untuk tiga komoditas

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019