Yogyakarta (ANTARA News) - Sistem pendidikan di Indonesia cenderung diskriminatif karena hanya menekankan pada kecerdasan kognitif dan menyamaratakan jenis kecerdasan anak. Hal tersebut diungkapkan oleh pemerhati anak Seto Mulyadi dalam Seminar "Seni Berkomunikasi dengan Anak" di Yogyakarta, Sabtu. "Pada dasarnya semua anak adalah cerdas dan spektrum kecerdasan tersebut sangat luas," kata Seto. Anak yang cerdas dalam bidang matematika, seperti yang dicontohkan pria kelahiran Klaten itu, belum tentu pandai memainkan alat musik dan sebaliknya. "Masing-masing anak memiliki gaya belajar mereka sendiri," lanjutnya. Menurut Seto, keunikan tersebut belum dapat terakomodir dalam sistem pendidikan di Indonesia seperti yang tertuang dalam kurikulum yang ada sehingga membuat seorang anak seperti "robot" karena harus mampu mengerjakan segala tuntutan yang ada baik dari guru atau orang tua. Ia berharap, sistem pendidikan di Indonesia lebih menghargai kreatifitas anak, yaitu keseimbangan pengembangan otak kanan dan kiri, sehingga anak tidak hanya dituntut untuk memberikan satu-satunya jawaban yang benar. Kondisi tersebut membuat anak cenderung mengalami "phobia sekolah" yaitu mengalami ketakutan untuk pergi ke sekolah dengan sejuta alasan. "Bagi anak, belajar adalah hak dan bukan kewajiban, sehingga bila hak tersebut tidak terpenuhi maka telah terjadi kekerasan terhadap anak," katanya. Ia mengkhawatirkan jika kondisi tersebut semakin berlarut-larut maka dampak buruk bagi anak-anak tersebut ketika mereka menginjak usia remaja, yaitu banyak terlibat masalah, seperti narkoba atau kenakalan lainnya. Diayakini pada dasarnya semua anak senang belajar dan kunci utamanya terletak pada cara orang tua atau guru dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. "Kecerdasan intelegensia bukan segala-galanya, masih banyak kecerdasan lain seperti kecerdasan emosi, spirital dan lainnya," katanya. Seto mengatakan orang tua dan guru bahkan dituntut menjadi artis serba bisa untuk memberikan pendidikan kreatif kepada anak, yaitu menjadi penyanyi, pesulap, seniman, pendongeng, atau ilmuwan sekalipun. "Orang tua dan guru yang kreatif akan menghasilkan anak yang kreatif, pendidikan yang diperlukan adalah pendidikan yang juga menggabungkan unsur hiburan," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008