Jakarta (ANTARA News) - Setidaknya ada tiga alasan yang mestinya membuat Indonesia menggarap lagi sawah dan ladangnya dengan sangat serius demi kemakmuran nasional. Alasan pertama adalah Cina dan India yang sekarang menjadi dua negara paling haus energi sekaligus sangat lapar pangan. Meski memiliki basis pengembangan pangan yang kuat, namun ledakan penduduk dan postur ekonomi yang terus mengembang meraksasa membuat keduanya terpaksa mendatangkan suplai pangan dari luar. Brazil adalah salah satu negara yang melihat Cina dalam kondisi tersebut, dan hal itu menjadi salah satu alasan Brazil mengekploitasi sektor pertanian dan agribisnisnya. Terbukti, langkah tersebut kemudian menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi negeri itu. Alasan kedua adalah jika Barack Obama memenangkan pemilihan presiden AS. "Saya akan investasikan 150 miliar dolar AS untuk energi yang dapat diperbarui seperti angin, matahari dan generasi berikutnya dari bioenergi," kata Obama dalam Konvensi Nasional Demokrat (28/8). Artinya, jika Obama menjadi Presiden AS, jutaan ton jagung dan kedelai tidak akan bisa dinikmati ratusan juta orang Afrika dan kawasan lain dunia yang selama ini tergantung pada pangan AS. Sekarang saja, menurut Organisasi Pangan Dunia, 100 juta ton biji pangan per tahun telah dialihkan sebagai bioenergi. Afrika dan kawasan lain pun melirik produsen yang bisa memenuhi kebutuhan pangannya, meski produsen itu tak menghasilkan pangan yang biasa mereka konsumsi. "Konversi pangan menjadi bahan bakar akan mendorong penduduk miskin Afrika mencari bahan pangan alternatif seperti padi," kata Mark Rosegrant dari Institut Riset Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI). Alasan ketiga, Eropa dan beberapa kawasan dunia enggan memperluas lahan pertanian karena faktor konservasi lingkungan. Ini berarti ada celah suplai pangan ke benua itu sekaligus bagian-bagian dunia yang selama ini dipasok Eropa. Indonesia, yang menurut Bank Dunia memiliki lahan pertanian lebih dari 180 juta hektar, berpeluang memenuhi kebutuhan nutrisi global. Indonesia bahkan memiliki 94,07 juta hektar lahan cadangan yang potensial untuk pertanian. Ekspor Ekspansi ekonomi Cina dan India, naiknya harga minyak yang membuat ongkos distribusi dan pupuk meningkat, bioenergi, dan menyempitnya lahan pertanian adalah sebagian faktor yang membuat harga pangan meroket tanpa kendali. Bloomberg mencatat, selama Maret 2007 - Maret 2008 harga jagung telah melonjak 31 persen, beras melambung 74 persen, kedelai meroket 87 persen dan gandum membumbung berlipat 130 persen. Kecenderungan merangseknya harga komoditas pertanian mengantarkan dunia pada krisis pangan, tetapi secara komersil fenomena ini membuat pertanian mencapai gengsi tertingginya sehingga investor global pun melihatnya sangat atraktif. "Berdasarkan kajian terbaru Bank Dunia tahun 2008, kenaikan harga komoditas berpengaruh positif bagi Indonesia, sebaliknya negatif bagi Cina, Thailand, Philipina, Laos dan Kamboja yang menderita kerugian netto dan cukup mengerus daya saing mereka," kata Wakil Ketua Kadin, Rachmat Gobel (Antara, 28/8). Masalahnya, membangun sektor pertanian yang produktif juga membutuhkan perencanaan yang matang, desain industri yang propertanian, mekanisme pengelolaan pangan yang integral, dan riset yang kuat nan berkelanjutan. Semua syarat itu menjadi kunci sukses Cina, India dan negara pertanian sukses lainnya seperti Brazil dan Thailand. Harga produk pertanian yang membumbung adalah peluang mendapatkan deviden untuk menutup ketakseimbangan neraca akibat tingginya impor energi sejak 1999. Sayang, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto masih lebih kecil dibandingkan sektor industri dan pertambangan. Data Departemen Perindustrian 2008 menunjukkan, selama sebelas tahun (1996-2006), ekspor produk pertanian rata-rata 5,1 persen dari total ekspor. Andai angka itu menggemuk hingga 30 persen seperti dicapai Brazil, mungkin Indonesia akan lebih mudah melepas tekanan impor migas yang terus membesar seiring tingginya permintaan dan tajamnya gejolak harga. Brazil mungkin bisa menjadi contoh sukses bagaimana pertanian dan agribisnis bisa mengambil peran penting dalam memperkuat struktur ekonomi satu negara. Bayangkan, pertanian Brazil menyumbang 28 persen dari total PDB, menyerap 37 persen angkatan kerja, dan mengambil porsi 37 persen total ekspor. Kisah sukses Brazil adalah juga kisah tentang adanya sistem regulasi dan hukum yang propangan sehingga pertanian tumbuh lekat dalam belaian industri dan perbankan serta kisah mengenai keberanian melepaskan diri dari ketergantungan asing. Brazil, yang dulu pengimpor kedelai, kini menjadi pengekspor kedelai utama dunia. Negara itu kini melangkah menyusul Cina dan India memasuki klub ekonomi paling berkembang yang berpotensi meruntuhkan supremasi negara maju. Indonesia memiliki banyak hal yang dipunyai Brazil seperti lahan yang luas, air yang melimpah dan sinar matahari yang cukup sehingga Indonesia bisa bangkit menjadi negara pertanian terpenting dunia. Nilai tambah Satu yang diprihatinkan dari pertanian Indonesia adalah sedikitnya upaya meningkatkan nilai tambah pada produk pertaniannya. Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat, mengutip Kompas (4/9), menyebut ini sebagai kelemahan pertanian Indonesia sehingga keuntungannya tidak bisa dinikmati maksimal. Meningkatkan kemampuan mengolah produk-produk pertanian adalah keniscayaan mengingat dunia cenderung menginginkan yang serba cepat. "Pola konsumsi pangan di negara-negara maju telah berubah, mereka lebih suka makan di luar dan menyantap makanan jadi," demikian BUNGE Limited dalam satu makalahnya. Oleh karena itu, sebelum diekspor, industri dalam negeri mesti mengolah hasil tanam sehingga pertanian tak boleh jauh dari industri dan sistem pembiayaan karena hubungan selaras di antara ketiganya menentukan keberhasilan pengelolaan pertanian. Produk tanam utama seperti padi juga mesti dilipatgandakan, setidaknya untuk mengukur efektivitas pengelolaan pertanian. Beberapa hari lalu Menteri Pertanian Anton Apriantono menyatakan Indonesia akan segera mengekspor beras mulai 2009 jika produksi mencapai 40 juta ton. Itu adalah kabar menggembirakan, apalagi jika diperluas pada komoditas-komoditas yang selama ini vital tapi tak diusahakan di dalam negeri seperti gandum dan kedelai. Indonesia memang belum bisa mengalahkan AS dan Argentina sebagai ekportir utama gandum atau Thailand sebagai eksportir beras utama dunia. Tetapi, Indonesia bisa perlahan memproduksi sendiri gandum dan kedelai karena harga yang mahal seharusnya mendorong komoditas-komoditas itu diproduksi sendiri, apalagi Indonesia memiliki lahan pertanian yang cukup dan tradisi penelitian pertanian yang matang. Pola diversifikasi pula yang mengantarkan Cina, India, Brazil dan Thailand masuk ke klub elite produsen pertanian dunia. Diversifikasi sendiri biasanya ditempuh setelah sebuah negara mampu berswasembada pangan dan menjadi tonggak keberhasilan pengelolaan ekonomi, seperti dialami Indonesia pasca 1984. Cina bahkan bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia setelah sukses berswasembada pangan akhir 1970an. Pertanian Cina berhasil menyerap puluhan juta tenaga kerja sehingga angka kemiskinan turun drastis 223 juta orang dalam kurun 26 tahun. Memetik kisah sukses Cina, insentif di balik mahalnya harga pangan, dan prestasi Indonesia 24 tahun silam, adalah tepat jika Indonesia meletakkan lagi pertanian sebagai kunci merengkuh posisi penting di dunia.(*)

Oleh Oleh : Jafar M. Sidik
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008