Jakarta (ANTARA) - Tim Independent Global Scientist (IGS) menyatakan bahwa hingga saat ini pencapaian target dari program tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) baru mencapai 5 persen.

Tim IGS tersebut berisi wakil dari 15 negara yang dipilih oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berdasarkan usulan dari negara anggota untuk melihat seberapa jauh pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dalam mendekati poin-poin sasarannya.

“Laporan ini menyatakan bahwa ternyata kalau kita melakukan pencapaian SDGs dengan cara seperti ini kita hanya mencapai 5 persen dari target goal yang ada,” kata Co Chair Independent Group of Scientist Endah Murniningtyas di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa.

Baca juga: Bappenas sebut perlu peran ilmuwan untuk capai target SDGs

Tim IGS mengeluarkan laporan bertajuk Global Sustainable Development Report 2019 yang diterbitkan oleh PBB di bawah Departemen Kebijakan Sosial dan Ekonomi dengan judul The Future is Now: Science for Achieving Sustainable Development.

Endah menuturkan laporan tersebut berisi sejumlah temuan untuk mencapai target SDGs dan jika ingin mencapai 10 persen dari target tujuan diperlukan adanya cara baru seperti menyeimbangkan satu target dengan lainnya.

Ia mengatakan dengan cara lama yang hanya fokus mencapai per satu target ternyata target berikutnya merupakan dampak negatif dari pencapaian target sebelumnya sehingga perlu adanya kolaborasi antar target.

“Harus ada perubahan sistemik tadi itu karena apa yang dilakukan di satu sisi akan berpengaruh ke hal lain. Ini yang tidak bisa dilihat hanya goal by goal jadi harus dilihat berdasarkan sistem," ujarnya.

Baca juga: Presiden Jokowi tegaskan RI siap berkontribusi mewujudkan SDGs

Endah menyebutkan aspek yang paling banyak terdampak adalah tentang masalah lingkungan baik hunian maupun diversity atau keanekaragaman hayati.

“Kalau kita begitu saja apa yang akan membahayakan itu adalah masalah lingkungan, bukan hanya hunian tapi juga termasuk biodiversity,” katanya.

Ia mencontohkan, ketika berhasil dalam menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata di sisi lain emisi karbon juga tinggi, banyak kebakaran hutan, serta banjir yang menimpa masyarakat luas.

Padahal, menjaga lingkungan untuk tetap bersih dan nyaman juga merupakan tujuan dari pembangunan berkelanjutan yang menjamin kesehatan warga dan mengurangi dampak dari pemanasan global.

Menurutnya, perlu ada transformasi di bidang pengembangan energi yang ramah lingkungan sehingga ketika ingin mengejar pengembangan energi tidak berdampak buruk terhadap keanekaragaman hayati dalam suatu kawasan tersebut.

Selain itu, Endah mengatakan semua negara di dunia juga harus bertransformasi dan mengevaluasi enam pengungkit dalam pelaksanaan program SDGs.

Pertama, dari sisi pemerintahan yang perlu merumuskan dan mengimplementasikan peraturan sejalan untuk pembangunan berkelanjutan atau sustainable development.

Kedua, dari sisi insentif sebagai pengungkit yang perlu ada kajian terkait peran dari insentif pembiayaan atau pricing dalam mendorong SDGs.

“Misalnya apakah sasaran subsidi masih diberikan ke energi tak bersih, bukan sebaliknya,” ujarnya.

Ketiga, sisi pendidikan yaitu sistemnya yang perlu tepat sasaran dalam merumuskan dan berkontribusi untuk pembangunan berkelanjutan.

Keempat, partisipasi bersama segenap elemen masyarakat atau collective action sebab dibutuhkan konsolidasi untuk menambah jumlah partisipasi dan keterlibatan masyarakat agar mampu mempercepat tercapainya target SDGs.

Kelima, ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai daya ungkit perlu dioptimalkan sesuai dengan ciri khas setiap negara.

Keenam, ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak bisa berubah secara masing-masing sebab dua sektor ini harus berubah dan melibatkan ilmu sosial dalam mengukur dampak sosial yang ditargetkan.

"Jadi tidak bisa berdiri sendiri dan melupakan sosialnya, dan mengabaikan dampak lingkungan," katanya.

Tak hanya itu, Endah juga menyebutkan tentang tiga unsur yakni sains, ekonomi, dan sosial yang harus diperhatikan dan ditransmisikan ke dalam sistem.

“Ini adalah tugas scientist harus berubah membahasakan hal kompleks ini kepada policy maker,” ujarnya.

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019