Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit, Hendri Saparini mengatakan kemiskinan tak berkurang meski anggaran untuk mengentaskan kemiskinan bertambah. "Terjadi perbedaan antara angka yang disajikan dengan realitas sebenernya," kata Managing Director Econit Hendri Saparini dalam diskusi publik di Jakarta, Rabu. Ia mengatakan pemerintah terus menaikkan anggaran untuk kemiskinan, dari Rp16 triliun 2007 menjadi Rp76 triliun pada tahun depan. Namun kebijakan yang dilakukan pemerintah justru menjadikan anggaran tersebut sia-sia. "Kebijakan menaikan harga BBM secara langsung memukul masyarakat dan menambah jumlah orang miskin," katanya. Klaim pemerintah sangat meragukan Ia mengatakan, klaim pemerintah telah berhasil mengurangi kemiskinan sangat meragukan. "Bagaimana kemiskinan berkurang kalau pembagian untuk raskin (beras untuk masyarakat miskin) saja di dasarkan data 2006, itu berarti kemiskinan tak berkurang," katanya. Menurut dia, kondisi saat ini telah memukul masyarakat miskin dan membuat mereka yang miskin semakin menderita. "Secara nyata bisa dilihat bagaimana 21 orang meninggal gara-gara berebut zakat, ini berarti daya beli masyarakt sangat turun, karena mereka rela demi Rp30 ribu bertaruh nyawa," katanya. Menurut dia, sensus yang dilakukan pemerintah saat ini bias kepentingan pemerintah sehingga angka-angka yang diungkapkan terlihat membaik. Ia mencontohkan klaim angka kemiskinan dan pengangguran yang menurun didasarkan pada parameter yang memasukan mereka yang bekerja di sektor informal sebagai orang yang tidak menganggur. "Sehingga mereka yang jadi pak ogah ataupun mereka yang berjualan asongan dianggap telah bekerja,tentu ini aneh," katanya. Selain itu, ia menambahkan parameter yang dihitung sebagai pekerja di Indonesia adalah satu Jam kerja setiap minggu. "Padahal di negara lain sebesar 35 jam per minggu," katanya. Angka inflasi BPS sangat bias Ia juga menyatakan angka inflasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sangat bias. "Sebab mereka yang disurvei adalah di 44 kota propinsi, selain itu adalah mereka yang berpendidikan SMA, dengan alasan hanya mereka yang kuliah bisa mengisi kuesionner. tentu saja ini bias kota," katanya. Ia menambahkan, bila inflasi yang diukur di pedesaan maka angka inflasi yang didapat akan lebih tinggi. Ia menjelaskan inflasi di masyarakat miskin lebih besar daripada inflasi umum saat ini. "Ini karena inflasi masyakat miskin didorong oleh sektor pangan sebab 73 persen pendapatan mereka habis untuk pangan. Bila inflasi bahan makanan tahun lalu mencapai 11,3 persen, tentu saja inflasi tahun lalu 6,6 persen tidak mencerminkan penderitaan mereka," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008