Kuala Lumpur (ANTARA News) - Indonesia perlu punya aturan soal calo dan dimasukkan dalam UU LLAJ yang akan masuk pembahasan DPR tidak lama lagi, seperti diterapkan Malaysia yang mampu memberantas percaloan yang selalu membuat pusing pada masa angkutan lebaran. "Ada orang Aceh Saiful,36 Thn, tertangkap menjadi calo di stasiun bus Pudu Raya, Kuala Lumpur dan menerima hukuman penjara 11 bulan karena tidak mampu bayar denda 10.000 ringgit (Rp28 juta) oleh pengadilan negeri Kuala Lumpur," kata Atase Perhubungan KBRI Kuala Lumpur, Sahar Andika Putra, Jumat. Menurut Sahar Andika , Malaysia baru saja menerapkan UU LLAJ baru diberlakukan tahun 2007 dan ada aturan atau pasal yang mengatur soal calo atau "ulat" (istilah Malaysia). Aturan itu mulai ditegakkan pada angkutan lebaran tahun ini namun yang terkena malah warga Indonesia. Indonesia, lanjut Sahar, saat ini sedang menggarap UU LLAJ tapi belum memasukkan aturan mengenai calo sehingga dalam pemberantasan calo masih belum ada aturan yang menjadi dasar pemberantasan profesi tersebut. UU Transportasi Malaysia pada pasal 110 A ayat (1) mengatur larangan calo berbunyi,"Barang siapa tanpa hak atau berwenang melakukan penawaran atau membujuk atau mendesak orang lain untuk maksud memperoleh keuntungan dengan cara menawarkan kepada orang lain untuk menggunakan angkutan penumpang atau membujuk orang lain agar tidak menggunakan angkutan tertentu, di mana saja di tempat umum, maka atas kesalahannya dapat dihukum denda tidak melebihi lima puluh ribu ringgit atau dipenjara paling lama tidak lebih dari lima tahun". Malaysia melarang adanya percaloan di terminal bus dan Bandara saja, tidak pada pelabuhan karena Malaysia memang tidak menumpukan kepada angkutan laut, hanya fokus pada angkutan udara dan darat. Setiap tahun pemerintah dan masyarakat Indonesia dipusingkan dengan masalah calo. Apalagi pada musim angkutan lebaran di mana tingkat permintaan sangat tinggi. Oleh sebab itu perlu belajar dari Malaysia, masukan aturan calo dalam UU LLAJ yang sebentar lagi akan masuk pembicaraan di DPR, kata Sahar.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008