Jakarta (ANTARA News)- Pengamat ekonomi, Erick Sugandhi memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuannya, BI Rate, sampai akhir tahun ini maksimal hingga 9,75 persen, karena BI Rate sampai di atas 10 persen bisa memberikan dampak negatif yang lebih besar. "BI akan memanfaatkan berbagai instrumen untuk meredam berbagai gejolak ekonomi, sehingga bunga BI Rate tidak akan sampai di atas angka 10 persen", kata pengamat dari Standard Chartered Bank itu, di Jakarta, Senin. Erick Sugandhi menduga BI Rate akan mengalami kenaikan pada Oktober mendatang sebesar 25 basis poin menjadi 9,50 persen dan pada November 25 basis poin menjadi 9,75 persen, sedangkan pada Desember nanti diperkirakan BI Rate stagnan. Bila BI Rate mencapai angka 10 persen akan menekan pertumbuhan ekonomi nasional karena tingginya tingkat suku bunga perbankan. Akibatnya, target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan 6,2 persen tidak akan tercapai, karena pertumbuhan hanya berada pada level 6 persen, katanya. Hal ini disebabkan berbagai usaha tumbuhnya agak melambat seperti sektor properti, perbankan, leasing, dan keuangan lainnya, katanya. Perbankan, lanjut dia, akan terpukul karena akan memicu bunga kredit bank naik yang pada gilirannya menahan debitur untuk mencairkan kredit yang akadnya sudah ditandatangani. Tingkat suku bunga kredit bank yang tinggi akan menyulitkan debitur mengembalikan pinjaman kreditnya kepada bank, tuturnya. Menurut dia, BI pada awal Mei lalu menaikkan BI dari 8 persen menjadi 8,25 persen. Akibatnya pertumbuhan uang beredar (M1) pada Juni lalu yang semula tumbuh 23,4 persen pada Juli turun menjadi 15,2 persen . Karena itu, BI diharapkan tidak terlalu tinggi menaikkan BI Rate, meski kenaikan itu untuk menjaga laju inflasi yang tinggi, katanya. Badan Keuangan Internasional, (IMF) sebelumnya menyatakan, BI harus menaikkan suku bunga BI Rate hingga mencapai 10,5 persen untuk mengatasi inflasi yang makin menguat. Jadi ideal suku bunga BI Rate adalah 9,75 persen, ujarnya. IMF salah Sementara itu, Corporate Secretary Bank BRI, Hartono Sukiman optimis BI Rate hanya akan mencapai angka 9,75 persen. "Kita tidak terlalu mengikuti saran IMF yang pernah salah dalam meniti ekonomi nasional," katanya. Menurut dia, BI dalam menaikkan BI Rate mempunyai hitung-hitungan sendiri apakah harus naik atau tidak. Apalagi BI mempunyai sejumlah instrumen yang dapat dimanfaatkan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi yang lesu, seperti rencana memperpanjang fasilitas Repo surat berharga, sehingga ketatnya likuiditas bisa berkurang, katanya. Ia mengatakan, makin merosotnya harga minyak mentah dunia yang saat ini mencapai angka 92 dolar AS per barel juga memberikan dampak positif terhadap ekonomi Indonesia, meski turbulensi krisis keuangan pemerintah AS masih terus terjadi. Gejolak keuangan itu mengakibatkan sejumlah perusahaan besar AS mengalami kerugian besar, bahkan ada yang pailit, ucapnya. (*)

Copyright © ANTARA 2008