Gorontalo (ANTARA News) - Rencana penganugerahan gelar adat atau "pulanga" bagi Sri Sultan Hamengkubuwono X pada 6 Oktober mendatang, mendapat kritikan dari sejumlah elemen masyarakat di Gorontalo. Pernyataan menolak pemberian gelar adat disampaikan oleh enam Himpunan Mahasiswa Indonesia Gorontalo (HPMIG) Cabang Manado, Bone Bolango, Minahasa, Limboto, Gorontalo dan Jakarta. "Kami telah menemui sejumlah pemilik gelar adat atau tauwa untuk memperjelas hal ini dan hingga sekarang belum menemukan ada alasan yang kuat untuk memberi gelar adat kepada Sultan," kata Ketua HPMIG Manado, Hamid Tome. Terlebih, kata dia, rencana tersebut juga diduga akan disisipkan dengan pertemuan sejumlah tokoh Partai Golkar, sehingga nuansanya menjadi politis. "Kami tak ingin gelar adat Gorontalo dijadikan alat politik dan masyarakat harus diberi pencerahan dulu mengapa lembaga adat memutuskan untuk memberi gelar adat itu," ungkapnya. Sebelum menyatakan penolakan, HPMIG terlebih dulu melakukan tatap muka dengan dua tokoh adat yakni Bupati Gorontalo, David Bobihoe yang memiliki gelar "Tauwa lo Lahuwa" dan Bupati Boalemo, Iwan Bokings pemilik gelar "Tauwa lo Madala". Iwan Bokings menjelaskan bahwa penganugerahan tersebut bisa saja dilakukan, sepanjang lembaga adat bisa menjelaskan karya atau "ilomata" apa yang telah disumbangkan Sultan Yogyakarta tersebut untuk Gorontalo. "Yang memiliki wewenang pemberian gelar adat adalah lembaga adat, sehingga perlu pengkajian kembali agar tak menimbulkan kontroversi," ujarnya. Sementara itu, Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad, mengatakan bahwa pihaknya akan tetap menggelar penganugerahan tersebut meski ada pro dan kontra dari masyarakat. "Itu hal yang biasa kok kalau ada yang menentang, tapi yang pasti penganugerahan ini tak ada kaitannya dengan politik," kata Fadel.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008