Jakarta (ANTARA) - Ketika terjadi aksi teror seperti bom bunuh diri, sering kali kita memaknainya sebagai aksi menebar ketakutan, dan tidak dapat disangkal, publik akan dengan mudah "menuduh" pelakunya pasti orang Islam.

Stempel yang disematkan kepada agama Islam adalah bahwa Islam itu identik dengan kekerasan, teror, dan sejenisnya.

Tujuan kelompok teror sebenarnya bukanlah hanya menebar ketakutan semata, atau membunuh orang sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, tujuan mereka adalah ingin merebut kekuasaan.

Selain itu, kelompok teror memiliki tiga jalan untuk mencapai tujuan mereka, yaikni: pertama, dakwah; kedua, politik; ketiga, menciptakan kaos (chaos). Kita kerap kali gagal memahami tujuan kelompok teror ini sebab mereka sesungguhnya memiliki beberapa alasan mengapa melakukan aksi itu.

Sebagai contoh, poin ketiga sudah dilakukan oleh Jamaah Islamiyah (JI) dahulu, ISIS dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) kini. Poin pertama JI, ISIS, dan JAD terus melakukan aksi ini sampai sekarang.

Poin kedua, ISIS tidak ambil jalan itu sebab bagi mereka itu sama artinya mengakui demokrasi yang mereka anggap bertentangan dengan akidah. Akan tetapi, berbeda pandang dengan ISIS dan JAD, JI mulai melunak soal demokrasi.

Baca juga: Kapolda: Tersangka bom bunuh diri di Medan berbaiat kepada ISIS

Sebenarnya, ajaran agama apa pun itu menekankan keimanan, ritual peribadatan, dan moralitas, sedangkan politik menekankan aturan main dalam perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara.

Kedua aspek ini pada praktiknya menyatu. Terlebih dalam ajaran dan sejarah Islam, agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai sekarang tidak bisa terpisahkan.

Konflik dan perseteruan antarsesama dinasti Islam pun tak pernah surut, masih berkecamuk sampai hari ini. Terjadi perebutan politik dan kekuasaan yang dibumbui dan dicarikan legitimasinya dari agama.

Dalam dunia politik sesungguhnya tidak ada yang terbebaskan dari pengaruh agama. Hanya saja formula peran dan keterlibatan agama dalam politik yang berbeda. Di AS, misalnya, berdasarkan penelitian, masyarakatnya jauh lebih religius ketimbang Eropa.

Pengaruh kekristenannya diekspresikan dalam penguatan etika publik dan pada pribadi-pribadi pejabat publik, bukan pada sistem maupun undang-undang kenegaraan. Maka, tidak dikenal istilah "Negara Kristen".

Jadi, kalau di Indonesia isu agama dalam politik masih muncul, itu wajar-wajar saja. Pertama, penduduk mayoritas warganya adalah beragama Islam. Kedua, dalam sejarah Islam, hubungan agama dan politik itu senantiasa menyatu sekalipun hal ini juga menimbulkan problem politik sangat serius yang sampai saat ini belum selesai.

Baca juga: Masalah Ahok, intervensi politik atau agama?

Peranan Agama

Hidup manusia ada dalam dan pada dunia. Oleh karena itu, manusia tidak dapat melepaskan kediriannya dari dialog dengan dunianya. Rumusan yang agak populer dalam tradisi filsafat modern ini merupakan pandangan mendasar yang selalu digunakan dalam seluruh refleksi dan perenungan mengenai eksistensi manusia.

Pandangan mendasar tersebut menegaskan bahwa hidup manusia tidak berlangsung dalam suasana batin (tempat dan ruang) yang tertutup, tetapi dalam dialog dengan lingkungan dunianya.

Suatu masyarakat manusia adalah usaha pembangunan dunia. Artinya, bahwa dunia sosial adalah dunia yang dibangun oleh manusia sendiri. Dia merupakan hasil dari projek manusia membangun dunianya, suatu enterprise of world building.

Perspektif di atas memberikan pengertian bahwa dunia (lingkungan sosial-kultural, termasuk politik) merupakan hasil konstruksi pemikiran dan aktivitas masyarakat manusia melalui apa yang disebut sebagai proses dialektika masyarakat, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Semua dunia yang dibangun (dikonstruksi) oleh masyarakat manusia (sosial), secara inheren adalah rawan karena terancam oleh fakta kepentingan diri dan kebodohan/keserakahan manusiawi.

Munculnya sebuah agama, sumber dari kerawanan atau dalam istilahnya breaking points (titik kritis) adalah karena manusia memiliki tiga karakteristik dasar eksistensi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian, dan kelangkaan.

Jika karakter dasar manusia tersebut terakumulasi dan memuncak, masyarakat manusia cenderung akan mengalami apa yang disebut oleh Max Weber sebagai persoalan makna, yakni kebingungan, penderitaan, serta ketegangan etis dan sosial yang mengarah pada penciptaan dunia masyarakat yang chaos.

Oleh karena itu, manusia meniscayakan suatu keterarahan transendental kepada Tuhan. Menjadi keniscayaan karena tanpa keterarahan transendental kepada Tuhan, manusia akan mengalami pragmentasi eksistensi atau keterpecahan kediriannya. Dalam bahasa filsafat perenial, manusia akan terlempar ke pinggiran lingkaran (rim peripheri).

Dalam konteks inilah, agama menjadi signifikan sebagai kekuatan batin atau spirit (inner dynamic) dalam mentransformasikan pembangunan (dunia) sosial-kultural yang rawan ke arah yang lebih etis dan humanis (manusiawi). Agama diyakini akan dapat meminimalkan kebingungan, penderitaan, konflik, serta ketegangan-ketegangan etis dan sosial yang mengarah pada chaos.

Baca juga: Umar Patek: Anak muda jangan belajar agama hanya dari internet

Peranan agama sangat menentukan dalam setiap bidang kehidupan sebab manusia tanpa agama tidak akan dapat hidup secara sempurna. Legitimasi religius atau agama akan sangat efektif (dalam proses transformasi sosial-kultural). Hal ini karena agama menghubungkan konstruksi-konstruksi realitas rawan dari masyarakat empiris dengan realitas purna (transenden).

Simbol-simbol religius akan merumuskan kesesuaian antara sebuah gaya kehidupan tertentu dengan metafisika khusus. Dengan demikian, agama memiliki kekuatan legimitasi dalam mengarahkan proses transformasi sosial-kultural dari realitas dunia sosial-kultural yang rawan dan semula terancam kepentingan diri dan kebodohan manusiawi menjadi teratur dan penuh makna.

Hubungannya dengan fenomena di atas maka agama Islam yang diturunkan ke dunia ini memiliki misi utama "rahmat bagi seluruh alam", artinya setiap manusia yang bertekad dan berkomitmen memeluk agama Islam harus memiliki sikap dan perilaku yang santun, damai, serta jauh dari anarkisme.

Sikap anarkisme, kekerasan sangat dibenci dan tidak dikehendaki oleh Allah Swt. yang notabenenya sebagai pencipta agama Islam meskipun semua agama juga mengajarkan hal yang sama dengan Islam secara substansial.

Seiring dengan dinamika dan tuntutan perkembangan zaman, manusia senantiasa memiliki keinginan dan harapan tentang sistem kehidupan dengan harapan akan terwujud tatanan sistem kehidupan yang sejahtera.

Hal ini menyebabkan adanya respons terhadap realitas kehidupan, termasuk respons terhadap hakikat dan fungsi agama bagi kehidupan masyarakat.

Baca juga: Menag ajak pesantren di Kediri ikut perangi radikalisme

Konsep Negara Islam

Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim maka agama Islam akan menjadi objek kajian utama bagi para pemeluknya. Hal ini karena Islam memang dijadikan spirit dalam membangun tatanan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama Islam jika dikaitkan dengan konsep politik, setidaknya ada dua diskursus, yaitu Islam sebagai dasar negara (khilafah) dan agama dilepas dari negara.

Diskursus mengenai posisi Islam terhadap dasar negara menimbulkan pro dan kontra. Sebagian menyatakan bahwa jika menghendaki tegakkan keadilan, kesejahteraan secara merata, Islam harus dihadirkan sebagai dasar negara.

Sebagian lain menyatakan bahwa mengenai Islam sebagai dasar negara merupakan sesuatu yang sudah final karena Indonesia adalah negara Pancasila dan itu sudah disepakati oleh para pendiri bangsa.

Paham yang meyakini Islam merupakan solusi untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan yang berimplikasi dengan penggunaan Islam sebagai dasar negara maka akan menimbulkan berbagai gerakan dan pemikiran yang mengarah pada terbentuknya sebuah negara Islam.

Banyak konsep atau istilah yang jika dipahami secara sempit/tekstual akan menimbulkan bergairahnya untuk melakukan perjuangan atau gerakan untuk mewujudkan negara Islam.

Baca juga: Densus 88 tangkap terduga teroris di Ponorogo

Pada awalnya pendirian negara Islam dimulai dari pemahaman terhadap Islam secara sempit/tekstualitas terhadap istilah atau konsep yang ada dalam Alquran seperti kata jihad, perang, dan kafir.

Negara Islam akan terbentuk jika dalam suatu komunitas tersebut bersih dari orang-orang kafir yang dipahami orang yang tidak beragama Islam atau orang yang dianggap merugikan Islam meskipun mereka beragama Islam. Pembersihan yang dianggap orang-orang "kafir" itu dilakukan melalui perjuangan yang dikemas dengan istilah jihad.

Kata jihad di sini adalah upaya untuk menegakkan kebenaran Islam dengan cara-cara yang sesuai dengan seleranya. Pemahaman jihad seperti itu lebih banyak dilakukan dengan kekerasan, bahkan ada yang meyakini dengan perbuatan perang.

Jihad, kafir, dan perang merupakan istilah yang dapat menimbulkan sikap dan perilaku yang anarkis atau kekerasan. Secara umum sebagian orang mengatakan teror meskipun di dalam keyakinan para pelakunya diyakini sebagai bentuk jihad dan memperjuangkan agama Islam.

Baca juga: Seputar polemik tentang kafir

Pemahaman terhadap Islam yang tekstualitas menyebabkan kesan negatif terhadap Islam dan mengalami paradoks antara idealisme dan kenyataan. Satu sisi Islam memiliki misi sebagai rahmat bagi semua alam, sementara di sisi lain Islam diwujudkan dengan tampilan kekerasan yang menakutkan setiap orang meskipun mereka sama-sama beragama Islam.

Jadi, agama mestinya jangan dibawa-bawa pada ranah politik. Agama cukup sebagai keyakinan hidup dan pedoman moral, baik dalam ranah individu maupun sosial politik, agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan.

*) Suryanto S.Sos, M.Si adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang

Copyright © ANTARA 2019