Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR, Suharso Monoarfa, di Jakarta, Kamis, menyatakan partainya memastikan, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla masih kuat untuk bertahan, meski ada 'gonjang-ganjing' akibat krisis industri keuangan. "Tidak ada pengaruhnya (krisis ini) terhadap pemerintahan sekarang. Hanya saja, dengan pasar yang sedang `turmoil` ini, sulit mendapatkan pendanaan dari menjual SUN. Atau kalaupun ada, imbalan yang diminta pasti tinggi, sehingga akan membebani APBN," ujarnya kepada ANTARA. Namun demikian, ia menambahkan, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Jusuf Kalla (JK) dipastikan tidak dapat mengatasi 'contangion efffect' terhadap pasar uang dan bursa saham. "Karena, persepsi dan sentimen pasar seragam dengan sifat spekulasinya di seluruh dunia," tegasnya. Ia mengatakan itu, setelah Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk pertama kalinya dalam sejarah melakukan penghentian perdagangan saham, karena penurunan indeks yang besar, yakni mencapai 10,30 persen. Ini merupakan dampak langsung terhadap perekonomian Indonesia akibat krisis industri keuangan AS yang berimbas kepada krisis ekonomi global. Selain masalah di pasar bursa, ekonomi Indonesia juga alami pengaruh akibat kurs rupiah yang terus melorot, dan pada perdagangan di valuta hari Rabu (8/10) sempat menyentuh angka Rp9.700 per dolar Amerika Serikat (AS). Padahal Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya optimistis dengan menyatakan, perekonomian Indonesia relatif aman dari gangguan. Suspensi perdagangan di bursa efek terjadi pada sekitar pukul 11.06 WIB, Rabu (8/10) kemarin, karena IHSG turun 168,052 point jadi 1.451,669. Ngutang Lagi? Terhadap kenyataan ini, Suharso Monoarfa mengusulkan, karena akan sulit sekali mendapatkan pendanaan dari menjual SUN, kalau pun ada akan diperoleh dengan imbalan mahal, sehingga sebaiknya carilah di sumber-sumber `non-market`. "Kalau dengan menjual SUN kan seperti saya katakan tadi, imbalannya mahal atau pasti sangat tinggi, sehingga akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," katanya. Makanya, untuk menutup defisit APBN itu, menurutnya, perlu diupayakan dari sumber `non market`. "Seperti pinjaman ke lembaga multilateral, yakni Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB)," ujarnya. Alternatif yang diusulkan Suharso Monoarfa ini, berarti Indonesia terpaksa menghutang lagi, dan ia mengingatkan, dalam situasi seperti sekarang, perlu diperhitungkan `cost of fund` untuk pembiayaan tersebut. "Sebab, meski Indonesia sudah masuk kategori kelas menengah sehingga tidak bisa lagi mendapatkan fasilitas dengan bunga yang murah, toh bunga pinjaman dari lembaga tersebut jauh lebih murah dari pasar SUN," kata Suharso Monoarfa lagi. (*)

Copyright © ANTARA 2008