Jakarta (ANTARA News) - Pekan ini ada dua sosok bermandi kegembiraan lantaran pasukannya maju perang dan menang. Siapa tidak ingin menang? Carlos Dunga dari Brazil mengiyakan dan menerima acungan jempol, sedangkan Alfio Basile dari Argentina menyetujui dan menunjukkan makna "aku yang berpikir" (cogito), sementara di seberang sana masih ada kebijakan dari "apa yang dipikirkan". Artikulasi Dunga dan Basile menyasar kepada revolusi, meski keduanya terlempar dalam laga bola. Keduanya terlahir dari tanah Amerika Latin, negeri asal teologi pembebasan yang mendekonstruksi kesadaran bahwa kemalangan bukanlah produk dari takdir Ilahi, bahwa ada orang yang memperkaya diri tanpa malu, sedangkan orang lain dilahirkan sebagai golongan pengemis. Tidakkah keduanya terlahir dari jernihnya perjuangan Uskup Brasil Dom Helder Camara yang dicap sebagai sosialis karena ia memilih berpihak kepada mereka yang miskin (option for the poor) dengan hidup di permukiman kumuh (favelas) ketimbang di pastoran yang serba berkecukupan. Pada 1964, Camara berusia 52 tahun dan diangkat menjadi Uskup Agung Olinda-Recife. Kota itu dihuni oleh 1,2 juta penduduk dengan 60 persen di antara penganggur dan 80.000 pelacur. "Di mana-mana saya melihat kemiskinan yang mengerikan," katanya. Ketika pabrik-pabrik karet di Recife meracuni sungai dengan limbah kimia, dan banyak ikan mati yang berujung jumlah tangkapan nelayan merosot, maka Camara berdemonstrasi untuk menuntut tanggungjawab sosial perusahaan. Usahanya berhasil dan perusahaan bersedia menyediakan unit pengolah limbah. Meski satu pekan kemudian Uskup Camara dicap sebagai antek sosialis. Ia menjawab bahwa rakyat diperbudak oleh egoisme lapisan kecil kaum elite. "Kami tidak memihak jalan kekerasan, bukan karena kami lemah atau pasif, tetapi karena percaya akan daya kebenaran dan kasih. Kami tidak percaya akan kekuatan senjata dan kebencian. Pertobatan hati lebih penting daripada segala macam perubahan struktur." Inti pesan Camara ketika menyapa Dunga dan Basile yakni pengetahuan yang benar akan membawa kepada praktik kehidupan yang benar pula. Sebaliknya, pengetahuan yang keliru akan membawa kepada krisis pemahaman dan praktik kehidupan yang menyengsarakan bukan justru membahagiakan. Baik Dunga maupun Basile tidak sebatas mengekor wasiat Camara. Keduanya melakukan pembacaan teks secara hidup, secara konkret dalam kehidupan. Buktinya, Venezuela boleh berlimpah minyak, meski timnas negeri itu bertekuk lutut 0-4 di hadapan skuad Samba dalam kualifikasi Piala Dunia 2010. Tapi tunggu dulu. Dunga tidak langsung sumringah gaya pantai Copacabana yang serba antusias. Bersama Federasi Sepakbola Brasil (CBF), Dunga mengeluhkan gaya penyambutan tuan rumah Venezuela yang dinilai meneror konsentrasi anak buahnya. Terlambat tiba di lapangan terbang setempat telah mengusik ketenangan skuad Brasil karena jadwal istirahat di hotel jadi berkurang. Belum lagi suasana gaduh di sekitar tempat penginapan tim Samba. "Penampilan kami begitu mengesankan meski kami diganggu dengan berbagai situasi serba menyulitkan sebelum pertandingan digelar," kata Dunga dalam pernyataan resmi CBF. Yang lebih mencemaskan, sejumlah pemain antara lain Lucio, Maicon, Elano dan Gilberto Silva tampak terguncang dengan situasi serba tidak menyenangkan. "Empat dari lima pemain kami sakit karena mengonsumsi makanan dan minuman. Bahkan bendera kebangsaan kami dibakar di stadion Pueblo Nuevo saat lagu kebangsaan diperdengarkan. Kami menghormati sesama tim, begitu pula tim lainnya diharapkan dapat berbuat yang sama pula," katanya. Dunga menyatakan, "Saya yakin banyak tim yang berkeinginan menjajal Brasil. Mengapa lantas pertandingan selalu dibumbui berbagai aksi serba tidak menyenangkan hati. Untung saja kami beroleh kemenangan meski harus melewati serangkaian pencobaan." Saat laga berlangsung lima menit, Kaka menunjukkan kelasnya di hadapan publik setempat. Meskipun pemain AC Milan yang kini berusia 26 tahun itu terus diganggu berbagai aksi pemain Venezuela. Media Venezuela tidak ingin kalah angin. Mereka menulis keterlambatan kedatangan timnas Brasil karena ada masalah teknis penerbangan. Sementara pelatih Venezuela Cesar Farias menunjukkan optimisme bahwa anak asuhannya masih memiliki kesempatan. "Kami juga tidak paham mengapa publik merespons negatif saat berhadapan dengan Brasil. Kami mengakui bahwa mereka tampil sebagai tim yang lebih baik. Fakta ini yang tidak dapat kami pungkiri," katanya. Brasil meraup 16 poin dari sembilan pertandingan, sementara Argentina memetik 16 poin. Keduanya berada dalam situasi yang kerap dilafalkan oleh Uskup Camara sebagai, "Janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan, tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat." Unggul 1-2 dari pesaing utamanya Uruguay, ujung-ujungnya menyeret Basile kepada rasa syukur karena terbebas dari aksi brutal lawan. "Kami menghadapi lawan yang tampil brutal dengan berbagai aksi tackling. Wasit justru tidak bereaksi apa-apa, sementara kami diganjar hukuman ketika melakukan kesalahan kecil," katanya. "Ada lima kartu kuning yang diterima masing-masing tim. Ini jelas misteri." Bagi Basile, menundukkan seteru lawasnya Uruguay tetap misteri. Bagi Dunga, simpul nilai ada dalam laga bola. Meski keduanya berpendapat bahwa baik fakta maupun nilai adalah satu saja, karena ada dalam relasi saling mempengaruhi. Semua pengalaman dalam pertandingan memiliki unsur pertimbangan baik dan buruk. Tidak ada pengalamanan atau fakta yang sama sekali netral. Dan Dunga lahir dari tanah air sepakbola indah. Estetika bola terbalut dalam etika mengenai baik dan buruk. Media massa Brasil menyoroti rasa frustrasi Dunga setelah melihat penampilan Kaka yang tidak kunjung bersinar bersama tim Samba. Pemain AC Milan ini absen di Copa America tahun lalu kemudian menjalani operasi lutut sampai akhir musim kompetisi Serie A. Sejak menangani Brasil, Dunga memilih gelandang bertipe petarung ketimbang pencetak gol. Robinho dan Adriano diberi tempat. Buktinya penampilan Robinho tidak mengecewakan Dunga saat melawan Venezuela. "Gilberto Silva tampil memikat, begitu pula dengan Elano dan Josue. Mereka menerapkan skema permainan yang telah ditetapkan," katanya. "Mereka (Venezuela) tampil menyerang dan membuka ruang gerak dari sayap kiri." Selanjutnya Brasil akan meladeni Kolombia. Laga keduanya disebut bakal berlangsung sengit. Dunga bersama pasukannya tidak ingin mendengar nyanyian bernada sinis dari publik pecinta tim Samba, "Selamat Tinggal Dunga". Rio de Janeiro menunggu dengan "passion". Berbekal wasiat Helder Camara, Dunga dan Basile menyadari bahwa tidak semua pertimbangan nilai adalah rasional. Cukup sering pertimbangan nilai diperjuangkan dengan penuh passion hingga pada titik di mana yang dipertaruhkan justru nyawa orang lain. Dan Camara menyelipkan wasiat ke dalam saku skuad Samba yang berbunyi, "Engkau adalah Kasih. Egoisme dan kebencian tidak bisa menjadi kata penghabisan. Kita akan menyapu bersih bumi dari penderitaan yang merupakan penghinaan terhadap Sang Pencipta." Revolusi Samba, revolusi Camara, dan revolusi dalam langit bola.(*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008