Depok (ANTARA News) - Pelaksanaan kursus Bahasa Mandarin di Indonesia belum berhasil secara baik, karena sebagian besar peserta hanya sebatas ingin tahu saja, kata Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (FIB-UI), Prof Dr AM Hermina Sutami, SS, M.Hum. "Minat masyarakat kebanyakan hanya sebatas ingin tahun saja," katanya usai dikukuhkan sebagai sebagai Guru Besar Tetap FIB, di Balai sidang UI Depok, Rabu. Dalam pidato pengukuhannya Hermina mengangkat tema "Linguistik Sinika: Perkembangan Teoritis dan Penerapannya Dalam Pengajaran Bahasa Mandarin di Indonesia". Menurut dia, berdasarkan penelitian Assa dan Madona tahun 2008 menunjukkan hanya empat tempat kursus bahasa Mandarin mencapai enam tahun, sedangkan lainnya hanya berusia satu tahun. Dikemukakannya, keingintahuan masyarakat yang besar untuk mempelajari Bahasa Mandarin surut setelah diharuskan dapat membaca dan menulis karakter Han. Menguasai Bahasa Mandarin tidak bisa instan, banyak hal baru yang harus dipelajari, karena tidak ada dalam Bahasa Indonesia, seperti ton, makna, karakter Han, dan ejaan Hanyu Pinyu. "Itu tidak bisa dikuasai dalam beberapa bulan saja," katanya. Hermina mengatakan, sejak reformasi 1998, pengajaran Bahasa Mandarin mulai dilakukan secara terbuka, sehingga menjadi trend di masyarakat. Banyak perusahaan membutuhkan pegawai yang mampu berbahasa Mandarin disamping Bahasa Inggris, dan gejala ini disambut para pebisnis yang membuka kursus Bahasa Mandarin. Ia juga mempertanyakan apakah Bahasa Mandarin dijadikan mata pelajaran intrakulikuler. Diakuinya bahwa kurikulum memang sudah tersusun tetapi sampai dimana kesiapan sekolah mengadakan mata pelajaran tersebut, karena hingga saat ini tidak ada universitas yang khusus menghasilkan guru Bahasa Mandarin. Kurikulum yang disusun Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), lanjut dia, belum mencerminkan situasi kebahasaan anak-anak Indonesia yang buta aksara Han. Sebab, dalam menyusun kurikulum mereka masih dibayang-bayangi kemampuan siswa sekolah China dahulu. Untuk memperbaiki kekurangan yang ada, kata dia, hendaknya diperhatikan kekhasan Bahasa Mandarin, kebutuhan pasar, kurikulum dan silabus, siswa, guru, dan buku pelajarannya. Begitu juga di jenjang perguruan tinggi kemahiran S1 berbeda dengan jenjang D3. Dengan memiliki pandangan dan tujuan serta sasaran yang jelas dari setiap jenjang dan jenis pendidikan ini diharapkan para lulusan yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan pasar. "Yang penting silabus bersifat nyata, sesuai dengan kondisi dan situasi anak-anak Indonesia dewasa ini," katanya. Untuk itu, perlu pembenahan jangka pendek adalah mengadakan pelatihan para guru dalam metode pelajaran Bahasa Mandarin. "Ini memang sudah dilakukan tapi sejauhmana keberhasilannya perlu dikaji ulang," kata Hermina Sutami.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008