Jakarta (ANTARA News) - Letjen (Purn) Ismail Saleh SH, mantan Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman, yang dijuluki "Pendekar Hukum", meninggal dunia Selasa malam (21/10), pukul 22.30 WIB di RSCM Jakarta dalam usia 82 tahun, karena sakit. "Ismail Saleh telah tiada. Kita kehilangan tokoh besar yang dedikasinya sangat tinggi kepada dunia hukum dan kebudayaan," kata Dirut Perum LKBN Antara Dr. Ahmad Mukhlis Yusuf di Jakarta, Rabu. Ismail Saleh pernah menjabat antara lain Pemimpin Umum LKBN ANTARA periode 1976-1979, Jaksa Agung 1981-1984, Menteri Kehakiman RI 1984-1993. Dari RSCM jenazah dibawa ke rumah duka, Jalan Musholla 1, Ampera Raya, Kemang Selatan, Jakarta Selatan. Menurut ensiklopedia tokoh Indonesia, semasa menjabat Jaksa Agung (1981-1984), Ismail Saleh, yang akrab dipanggil Mas Is, pernah dijuluki "Trio Punakawan/Pendekar Hukum" bersama Ketua MA Mudjono, SH dan Menteri Kehakiman Ali Said, SH. Mantan Menteri Kehakiman (1984-1993), ini tergolong akrab dengan wartawan. Maklum, sebelumnya dia memang menjabat Pemimpin Umum LKBN Antara (1976-1979), maka dia sangat paham bahwa dunia ini sepi tanpa wartawan (pers). Tak bersembunyi Setelah Pak Harto lengser tanggal 21 Mei tahun 1998, pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, 7 September 1926, ini tetap menunjukkan diri sebagai seorang mantan menteri pada masa pemerintahan Orde Baru. Dia tidak bersembunyi atau malah ikut-ikutan menghujat mantan penguasa Orde baru itu, seperti dilakoni beberapa mantan pejabat Orde Baru lainnya. Ismail Saleh yang mengaku secara pribadi tidak dekat dengan Pak Harto, itu mulai bertugas di Sekretariat Negara sebagai Sekretariat Presidium Kabinet (1967-1968). Kemudian menjabat Wakil Sekretaris Kabinet/Asisten Sekneg Urusan Administrasi Pemerintahan (1972) dan Sekretaris Kabinet (1978). Kemudian, dia dipercaya menjabat Pemimpin Umum LKBN Antara (1976-1979). Setelah itu, sempat ditugaskan sebagai Pj. Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (1979-1981), sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung (1981-1984) dan Menteri Kehakiman (1984-1988). Sebelumnya, dia mengawali karir sebagai anggota intel Tentara Divisi III, Yogyakarta. Kemudian bertugas sebagai anggota Pasukan Ronggolawe Divisi V di Pati dan Wonosobo (1948-1949) sebelum bekerja di Direktorat Kehakiman AD (1952). Setelah itu, dia bertugas sebagai Perwira Penasihat Hukum Resimen 16, Kediri (1957-1958) dan Jaksa Tentara di Surabaya (1959-1960). Kemudian menjabat Jaksa Tentara Pengadilan Tentara Daerah Pertempuran Indonesia Timur, Manado (1960-1962) dan Oditur Direktorat Kehakiman AD (1962). Sebelum bertugas di Setneg, dia menjabat Perwira Menengah Inspektorat Kehakiman AD (1964-1965). Namanya semakin populer saat menjabat Jaksa Agung. Pasalnya, dia sering mengadakan kunjungan mendadak ke kantor-kantor kejaksaan. Dia berprinsip, bila mengharapkan ketertiban masyarakat, maka instansi penegak hukum harus tertib lebih dulu. Kebiasaan sidak itu, dilanjutkannya saat menjabat Menteri Kehakiman. Berbagai penyimpangan pernah dibongkarnya, seperti kasus manipulasi pajak oleh sejumlah perusahaan asing, kasus Tampomas, dan penggelapan uang reboasasi di Sulawesi Tengah. Dia seorang pejabat yang sejak kecil sudah sangat mencintai alam dan hutan. Maklum, ayahnya, seorang kepala kehutanan di daerah Jawa Tengah, sering mengajaknya berkeliling melihat-lihat tanaman di hutan. Selain itu, setelah lulus HIS, 1941, Ismail masuk ke Sekolah Menengah Pertanian. Dia sekelas dengan Kapolri Anton Soedjarwo. Walaupun kemudian dia melanjutkan ke SMA dan pada tamat 1950. Setelah itu masuk Akademi Hukum Militer, dan Perguruan Tinggi Hukum Militer. Sekjen Asosiasi Museum Indonesia, Ismet Rauf juga mengatakan dunia museum kehilangan tokoh penggeraknya. Selain menjadi pendiri Museum Purnabhakti, Ismail saleh juga dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan budaya Cirebon. (*)

Copyright © ANTARA 2008