Jakarta (ANTARA News) - Aksi pembelian kembali (buy back) sejumlah emiten BUMN tidak mampu menjaga dan memulihkan kepercayaan pasar, bahkan menambah ketidakpastian pasar, sehingga menyeret indeks saham BEI jatuh dalam beberapa hari belakangan ini. "Ini semua disebabkan aksi buy back tersebut dilakukan setengah hati, cuma gembar-gembor saja yang pada akhirnya malah menambah ketidakpastian masyarakat dan investor," kata Ketua Umum Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISI), ND Murdani, kepada ANTARA, di Jakarta, Jumat. Kenyataan ini diperburuk lagi oleh pernyataan Meneg BUMN, Sofyan Djalil yang mengatakan bahwa BUMN hanya boleh masuk (buy back) pada saat harga saham sangat murah. "Kalau pernyataan seperti itu sama saja menyuruh BUMN menjadi spekulan yang hanya mencari untung semata. Padahal sudah seharusnya pemerintah melalui BUMN turut serta menjaga dan memulihkan kepercayaan pasar,"ujarnya. Menurut Murdani, sudah seharusnya BUMN menjadi motor penggerak pasar terutama menjaga dan memulihkan kepercayaan pasar. "Buy back itu harus segera dilakukan, bukan cuma wacana dan gembar-gembor saja," kata Murdani. Dia menambahkan saat ini investor membutuhkan aksi nyata pemerintah bukan hanya gembar-gembor yang tidak jelas. "Selama ini kan yang terjadi pemerintah alokasikan dana BUMN Rp 10 triliun, tapi nyatanya yang digunakan untuk buy back sangat minim sekali hanya Rp 8 miliar, bagaimana masyarakat mau percaya," katanya. Murdani menilai pemerintah dan otoritas pasar modal tidak mampu memanfaatkan momentum yang ada. "Momentum untuk pemulihan kepercayaan pasar sebenarnya masih ada, namun itu tidak dimanfaatkan secara optimal, ini sangat disayangkan"katanya. Selain itu, katanya, Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai salah satu fasilitator bursa juga jangan cuma menunggu saja sampai orang panik, harus punya inisiatif yang dapat menggerakan pasar. "Harusnya BEI memperlebar batas atas auto rejection, sehingga akan membantu menaikkan indeks saham. "Sekarang kan baru saja harga saham naik sedikit sudah terkena penghentian otomotatis,"ujarnya. Mengenai silang pendapat mengenai boleh tidaknya BUMN melakukan buy back, Murdani mengatakan, boleh saja beda pendapat, tapi pemerintah sudah menginstruksikan BUMN untuk buy back. "Harus ada aksi nyata, jangan lalu keragu-raguan pemerintah terus saja di bawa-bawa ke pasar, sehingga malah memperburuk keadaan,"katanya. Sementara mengenai buy back yang dilakukan emiten non BUMN, Murdani mengatakan hal itu harus diapresiasi sebagai suatu langkah penyelematan pasar. "Namun kalau pemerintrah dengan BUMN-nya saja ragu, lalu apa yang bisa diharapkan dari emiten swasta," tanyanya. Selain sejumlah BUMN, sejumlah emiten swasta juga telah mengambil ancang-ancang untuk buy back, namun sampai saat ini belum terlihat nyata dana buy back itu masuk pasar. Beberapa emiten swasta yang akan buy back antara lain lain PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL), PT Bank NISP Tbk (NISP), PT Sampoerna Agro Resources (SGRO), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Indika Energy (INDY), Bank BCA (BBCA), PT Bakrie Sumatera Plantations (UNSP), PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Risiko Secara terpisah Dirut Finan Corfindo, Edwin Sinaga mengungkapkan hal yang berbeda. Edwin mengatakan apa yang dilakukan (buy back) sejumlah emiten BUMN adalah hal yang wajar. "Kalau dana buy back BUMN itu belum banyak yang masuk ke pasar itu hal yang wajar," katanya. Karena, katanya, buy back punya dua sisi, satu sisinya untuk menjaga pasar dan satu sisi lagi ada hal yang mengandung risiko. Dengan begitu, katanya, BUMN akan hati-hati masuk pasar (buy back), karena mereka masih menilai ada risiko yang harus dihadapinya. "Mengapa BUMN terkesan lambat masuk ke pasar, karena mereka nanti tidak ingin dipersalahkan ketika sudah buy back harganya ternyata masih turun lagi," kata Edwin "Jadi kita maklum lah apa yang dilakukan BUMN karena mereka tidak ingin dihantui rasa bersalah setelah eksekusi (buy back)," ujarnya. Menurut Edwin, pemerintah harus memberikan batasan harga dan volume saham buy back yang jelas bukan hanya sekedar besarnya dana buy back yang dianggarkan. "Harus ada batasan atau kisaran harga yang jelas yang dapat memperbolehkan BUMN masuk, sehingga ini memberikan ketenagan bagi manajemen BUMN untuk mengeksekusi buy back sahamnya," tambahnya. Sementara itu seorang broker saham yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan masih jeleknya pasar saham dan belum nampaknya dana buy back yang masuk ke pasar. disebabkan broker saham yang diberikan order buy back justeru memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya. "Mereka hanya mengeksekusi saham bay back pada saat harganya jatuh dan segera menjual kembali pada saat harganya mulai naik. "Ini sama saja dana yang masuk cuma mampir sebentar dan tidak ada saham yang buy back yang disimpan, sehingga membuat indeks saham jatuh lagi," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2008