Jakarta, (ANTARA News) - Dua mantan petinggi Bank Indonesia (BI), yaitu mantan Deputi Direktur Direktorat Hukum BI Oey Hoy Tiong dan mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simandjuntak, Senin, masing-masing dituntut enam tahun penjara dalam perkara dugaan korupsi aliran dana BI sebesar Rp100 miliar. Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam surat tuntutan yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga menuntut pembayaran pembayaran denda masing-masing Rp250 juta subsidiair delapan bulan kurungan. Menurut tim JPU, Oey dan Rusli mencairkan dana tersebut dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dan mendistribusikannya sesuai tugas masing-masing. Tim JPU yang terdiri dari Nur Chusniah, Agus Salim, dan Hendarbeni Sayekti menyatakan, perbuatan keduanya dilakukan atas persetujuan Dewan Gubernur BI. Perbuatan kedua terdakwa bermula saat Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 3 Juni 2003, yang antara lain membahas kebutuhan dana untuk bantuan hukum para mantan pejabat BI. RDG juga membahas kebutuhan dana untuk pembahasan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan revisi UU BI di DPR. RDG tersebut dipimpin oleh Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan dihadiri oleh sejumlah anggota Dewan Gubernur, antara lain Aulia Tantowi Pohan, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. Pada akhirnya, RDG sepakat penggunaan dana YPPI sebesar Rp100 miliar untuk keperluan tersebut. Menurut tim JPU, Rusli Simanjuntak berperan mengalirkan dana BI ke para anggota DPR. Rusli melapor kepada Aulia Tantowi Pohan tentang keperluan dana Rp40 miliar, dengan rincian Rp15 miliar untuk pembahasan masalah BLBI dan 25 miliar untuk revisi UU BI di DPR. Setelah catatan itu disetujui oleh Aulia dan Maman, kemudian dana YPPI sebesar Rp15 miliar dapat dicairkan. Rusli dan Asnar Asnari kemudian menyerahkan uang itu kepada anggota DPR Hamka Yandhu dan Antony Zeidra Abidin. Aliran uang ke DPR berlanjut dengan pertemuan antara Rusli Simanjuntak dan dua anggota DPR, yaitu Hamka Yandhu dan AntonyB ZeidraB Abidin. Pertemuan itu terjadi pada September 2003 di Hotel Hilton yang kini sudah berubah nama menjadi Hotel Sultan, Jakarta. Pertemuan itu menyepakati kebutuhan dana tambahan sebesar Rp25 miliar yang harus diserahkan kepada DPR. Namun, dana di YPPI hanya tersisa Rp16,5 miliar. Dengan persetujuan Aulia dan Maman H. Soemantri, Rusli bersama Asnar mencairkan uang Rp16,5 miliar itu dalam dua tahap dan memberikannya kepada anggota DPR Hamka Yandhu serta Antony Zeidra Abidin. "Penyerahan tersebut tanpa dilengkapi tanda terima," kata JPU Nur Chusniah. Nur Chusniah juga menyebutkan, Rusli dan Asnar menerima uang secara bertahap hingga mencapai Rp3 miliar. Uang itu diperoleh setiap kali keduanya menyerahkan uang kepada Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu. Sementara itu, Oey Hoy Tiong bertugas mengalirkan dana ke para mantan petinggi BI. Atas persetujuan Dewan Gubernur BI, Oey diduga mencairkan dana sejumlah Rp13,5 miliar dan menyerahkan uang itu kepada mantan Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata pada 16 Juli 2003. Pada 18 Juli 2003, Oey kembali mengajukan catatan kepada Aulia Tantowi Pohan untuk pencairan dana sebesar Rp25 miliar. Dana itu kemudian dapat dicairkan secara bertahap dan diserahkan kepada mantan Gubernur BI, Soedradjad Djiwandono. Menurut JPU, Oey kembali mencairkan dana YPPI hingga berjumlah Rp30 miliar. Uang itu kemudian diberikan kepada tiga mantan direksi BI, Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo. Masing-masing petinggi BI itu menerima Rp10 miliar. JPU Agus Salim mengatakan, aliran dana kepada para mantan petinggi BI itu menyalahi aturan YPPI. Padahal dana yang digunakan adalah dana YPPI. "Penggunaan dana Rp100 miliar itu tidak sesuai dengan tujuan YPPI," katanya. Perbuatan Oey Hoy Tiong dan Rusli Simanjuntak dijerat dengan pasal 2B ayat (1) UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayatB (1) Ke-1 KUHP.(*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008