Jakarta (ANTARA News) - Sejarawan Anhar Gonggong menilai penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Mohamad Natsir, mantan perdana menteri pada era dasawarsa 50-an, membuka ruang untuk menilai kembali sejarah Indonesia. "Bagi saya yang sekarang ini dilakukan pemerintah adalah justru membuka ruang kesejahteraan untuk menilai kembali sejarah itu sendiri, itu yang penting," kata Anhar di Istana Negara, Jakarta, Jumat, seusai menghadiri upacara penyerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Natsir. Pemberian gelar kepahlawanan itu, lanjut dia, dapat dilihat dalam pengertian rekonsiliasi. "Tidak ada seorang pun yang dalam proses permainan politik yang tidak mempertahankan ideologi dengan pengertian itu," katanya. Namun, menurut Anhar, ada kesalahan sejumlah pihak dalam melihat sosok Natsir. "Kesalahan itu pertama seakan-akan ia anti-Pancasila. Tidak, dia justru pernah menerangkan Pancasila dengan bagus di Pakistan sebagai dasar negara," ujarnya. Menurut Anhar, Natsir tidak melawan NKRI, perselisihan yang terjadi adalah akibat pertentangan politik. "Dia tidak menentang RI, jangan menyamakan antara pemerintah dan negara, itu dua hal yang berbeda. Natsir justru ingin menegakkan sesuatu yang menurut dia ukurannya lebih baik dari apa yg dilakukan pemerintah," katanya. Anhar mengatakan bahwa Natsir tidak mendirikan negara Islam, namun mendirikan negara atas dasar syariah Islam kalau itu dikehendaki secara mayoritas, tapi kalau mayoritas tidak mengkehendaki dia juga tidak mau. "Tapi kewajibannya lah sebagai pemimpin dia melontarkan ide itu, dan kalau masyarakat menerima, maka dia akan melakukan itu, kalau tidak ya tidak," katanya, seraya mengatakan bahwa Natsir melarikan diri ke hutan karena terpaksa. Saat ditanya mengenai pemberian gelar pahlawan nasional yang dilakukan jauh setelah Natsir meninggal, Anhar mengatakan bahwa hal itu tidak berarti ada keterlambatan. "Bukan persoalan terlambat, tapi ada kekurangtahuan masyarakat bahwa ini harus melewati proses masyarakat sendiri, ada kelompok yang mengusulkan ke pemerintah daerah dan kemudian diusulkan ke pemerintah pusat, jadi masyarakat sendiri yang memilih pahlawan itu, bukan pemerintah, pemerintah hanya menyeleksi," katanya. Saat ditanya mengenai definisi kepahlawanan, Anhar mengatakan bahwa arti utama dari pahlawan dapat disederhanakan menjadi kesediaan untuk melampui dirinya sendiri. "Itu pahlawan, dia rela mengorbankan apa saja yang dimiliki dari nyawa, harta dan sebagainya," ujarnya. Sementara itu salah seorang anak Natsir, Ahmad Fauzi, mengatakan pihak keluarga merasa bangga dengan gelar pahlawan nasional itu. "Mudah-mudahan dapat menjadi contoh (generasi muda)," katanya, sambil mengatakan bahwa pihak keluarga tidak mempermasalahkan masalah cepat atau lambat pemberian gelar itu. Natsir yang dilahirkan di Nagari Alahan Panjang, Sumatra Barat, pada 17 Juli 1908 adalah seorang tokoh dan bapak bangsa yang sejak usia remaja telah terlibat dalam percaturan pemikiran kebangsaan, demokrasi, pendidikan, keadilan dan masalah sosial serta Islam modern. Ia merantau dan menetap di Bandung dan sempat menjadi perdana menteri pada pemerintahan Sukarno dalam masa singkat 1950-1951. Saat terjadi pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) karena ketidakpuasan pada pemerintahan Sukarno, Natsir pulang ke kampung halamannya di Maninjau memimpin perjuangan PRRI. Pada Jumat pagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas nama negara menganugerahkan gelar pahlwan nasional dan bintang Mahaputera Adipradana pada mantan Perdana Menteri Dr. Mohammad Natsir, anggota panitia pembelaan tanah air KH Abdul Halim serta tokoh pertempuran 10 November 1945 Soetomo atau yang dikenal dengan Bung Tomo. (*)

Copyright © ANTARA 2008