Kediri (ANTARA News) - Orangtua Widayati, korban Bom Bali I, tak bersedia memaafkan tiga terpidana mati Amrozi, Ali Ghufron, dan Imam Samudra, meskipun telah dieksekusi mati, Minggu dini hari tadi. "Bagaimana saya bisa memaafkan, sementara sakit hati atas kematian anak saya belum bisa diobati," kata Suradi, ayah Widayati, saat ditemui di rumahnya yang sangat sederhana di Jalan Duorowati nomor 7 Kediri, Jatim, Minggu petang. Kendati merasa lega dengan eksekusi mati Amrozi dan kawan-kawan, dia mengaku tidak bersedia memaafkan ketiga pelaku Bom Bali I itu. Peristiwa berdarah yang merenggut nyawa anaknya itu masih belum sirna dari ingatan pria berusia 70 tahun yang bekerja sebagai tukang becak itu. "Dia satu-satunya anak saya yang perempuan. Semasa hidupnya, dia banyak membantu mencukupi kebutuhan hidup saya dan keluarga di Kediri," katanya di sela-sela menjahit pakaiannya yang robek dengan tangan. Oleh sebab itu, dia mengaku, tak bisa melupakan peristiwa yang merenggut nyawa anaknya yang bekerja sebagai kasir Sari Club di Legian, Kuta, Bali pada 12 Oktober 2002. Kini Suradi dan istrinya, Wasiah (63) mendambakan bisa mengunjungi Monumen Tragedi Kemanusiaan Bom Bali (Zero Ground) di Legian, Kuta, Bali itu. "Bagaimana caranya, supaya saya dan istri saya bisa mengunjungi lokasi kematian anak saya itu? Terus terang saya ingin sekali ke sana, tapi saya tidak punya uang," katanya. Lalu dia menceritakan peristiwa yang terjadi enam tahun lalu. Pada tanggal 12 Oktober 2002 malam, Widodo, kakak Widayati, dari Denpasar menghubungi Suradi melalui telepon milik tetangganya. "Saat itu saya hanya dibilangi, Widayati sakit keras. Esok harinya saya langsung berangkat ke Denpasar dengan istri saya. Sampai di Denpasar saya langsung dibawa menuju Rumah Sakit Sanglah," katanya. Betapa terkejutnya Suradi dan Wasiah setelah mendapati anaknya itu sudah tidak bernyawa. Meski kondisinya tidak utuh lagi, Suradi masih bisa mengenali Widayati dari giginya yang susunannya tidak teratur (gingsul). "Sedang saya bisa mengenali Widayati dari dahinya. Wajahnya sudah tidak bisa dikenali lagi. Kedua tangan dan kakinya sudah tidak ada," kata Wasiah seraya menambahkan, masih terus teringat jasad Widayati yang sudah tidak utuh itu akibat terkena serpihan bom milik Amrozi dan kawan-kawan itu. Saat peristiwa itu terjadi Widayati yang berusia 37 tahun itu sedang bertugas sebagai kasir di Kafe Sari Club, Legian, Kuta, Bali. "Sudah lama dia bekerja di Sari Club, tapi baru satu tahun dia memegang kasir sampai dia akhirnya meninggal dunia kena bom," katanya. Kini Widayati meninggalkan seorang suami, Wayan Harianto dan dua orang anak, Eka (SMA) dan Kadek (SMP). "Sampai sekarang, suami Widayati masih belum mau menikah lagi karena berkonsentrasi membiayai sekolah dua anaknya itu," kata Wasiah. Tujuh hari setelah peristiwa berdarah itu, jasad Widayati dibakar sesuai adat Bali di Denpasar. "Jenazah sesuai adat Bali, tapi keluarga di Kediri menggelar tahlilan mulai hari kematiannya sampai tujuh hari," kata Suradi mengungkapkan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008