Seharusnya kedua negara ini memanfaatkan kemitraan strategis komperehensif untuk mewujudkan cita-citanya dengan memperkuat hubungan bilateral,
Beijing (ANTARA) - Pengamat dari Guangxi University for Nationalities (GUN) Nanning, China, Ge Hongliang, mendorong penguatan dialog antara Beijing dan Jakarta, terutama dalam mengatasi isu Natuna.

"Sebagai negara besar yang sedang berkembang, China dan Indonesia seharusnya bisa meningkatkan kerja sama untuk mewujudkan cita-citanya masing-masing," ujarnya dalam artikel yang ditulis di China Daily, Senin.

Wakil Dekan Fakultas ASEAN di salah satu perguruan ternama di Daerah Otonomi Guangxi itu mengamati bahwa cita-cita 100 tahun Indonesia dan cita-cita 200 tahun China memiliki arah tujuan pembangunan yang hampir sama.

"Seharusnya kedua negara ini memanfaatkan kemitraan strategis komperehensif untuk mewujudkan cita-citanya dengan memperkuat hubungan bilateral," tulisnya.

Seperti halnya pemerintah China, lanjut dia, pemerintah Indonesia juga berkomitmen meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial.

"Setelah terpilih sebagai Presiden Indonesia, Joko Widodo melakukan pendekatan pragmatis untuk meningkatkan pembangunan. Beliau membangun kawasan industri dan berupaya menarik investor asing untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur. Hasilnya bisa dilihat, pembangunan selama kepemimpinan Joko Widodo pada periode pertama sangat bagus," papar Ge.

Baca juga: Menlu Retno sebut 2020 momentum penting hubungan RI-China
Baca juga: LIPI sebut RI perlu belajar dari China soal perdagangan online


Dia juga mengutip data periode 2015-2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat dari 4,88 persen, 5,03 persen, 5,07 persen, menjadi 5,17 persen. Pada 2018 itu pertumbuhan ekonomi Indonesia menduduki peringkat ketiga di antara negara-negara kelompok 20 (G20).

Hubungan ekonomi dan dagang China-Indonesia terus tumbuh. China menjadi salah satu tujuan ekspor terbesar Indonesia sekaligus importir bagi China. China juga menjadi negara terbesar ketiga investasi asing langsung ke Indonesia.

Walau begitu, Ge masih melihat adanya beberapa kendala dalam menyinergikan mimpi bersama kedua negara tersebut.

"Pertama, nilai perdagangan dan investasi yang tidak seimbang. Indonesia masih defisit 18,22 miliar dolar AS dalam neraca perdagangannya dengan China pada 2018, naik 40,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya," ujarnya.

Kedua, sejumlah perusahaan China masih menghadapi beberapa kesulitan saat hendak membangun pabrik di Indonesia, seperti pembebasan lahan dan masa berlaku visa kerja yang sangat terbatas.

Sementara ketiga, lanjut Ge, perbedaan budaya, khususnya faktor agama masih menjadi isu utama di kedua negara.

Dalam menanggapi sikap Jakarta terkait keberadaan kapal nelayan di lepas pantai Pulau Natuna, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang di Beijing, Kamis (2/1) menyatakan bahwa China punya hak dan berkepentingan di sekitar perairan tersebut.

Namun demikian pada jumpa pers harian di Beijing, Selasa (31/12), Geng mengatakan bahwa pihaknya ingin bekerja sama dengan Indonesia dalam mengatasi permasalahan tersebut melalui dialog bilateral demi terjaganya kemitraan yang erat termasuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.

Menurut Ge, China dan Indonesia sedang menghadapi eskalasi persaingan yang kompleks dari kekuatan kawasan lain seiring dengan cepatnya perubahan situasi global, terutama lanskap keamanan yang tidak stabil dan penyesuaian masalah ketenagakerjaan.
Baca juga: Mendag siap tingkatkan kerja sama perdagangan RI-China
Baca juga: China langgar ZEE RI di perairan Natuna, Kemlu panggil Dubes


"Oleh karena itu, kedua negara perlu memperkuat dialog strategis dan menyinergikan kebijakan pembangunan bersama agar bisa beradaptasi dengan perubahan besar di kawasan dan global serta mendukung program pembangunan bersama," demikian Ge mengakhiri tulisannya di harian berpengaruh di China itu. 

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020