Yogyakarta, (ANTARA News) - Penelitian geologi tentang tsunami purba membuktikan bahwa tsunami besar adalah kejadian berulang yang terjadi dalam rentang waktu sekitar 600 tahun. "Tsunami besar paling sering terjadi dalam kurun waktu 600 tahunan, namun rata-rata terjadi dalam kurun waktu 800 hingga 900 tahunan," kata peneliti tsunami asal USGS, Dr. Brian Atwater, dalam workshop paleotsunami (tsunami purba) di Universitas Gadjah Mada, Sabtu. Atwater telah melakukan penelitian di Cascadia Kanada, Chile, Hokaido Jepang dan juga Thailand dengan cara meneliti lapisan tanah di daerah pesisir pantai. Penelitian tersebut menghasilkan penemuan yang mengejutkan karena kondisi tanah di daerah tersebut berlapis-lapis dengan warna dan struktur yang berbeda. Tanah asli sebelum terjadi gempa terlihat berwarna lebih gelap sedangkan lapisan bekas tsunami biasaya berwarna lebih terang yang terbentuk dari pasir dan lumpur dengan struktur yang tidak terlalu padat. Lapisan tanah dan pasir tersebut saling berselang-seling dan melalui uji karbon dapat diketahui umur lapisan tanah tersebut. "Lapisan-lapisan tanah tersebut terbentuk karena tanah di daerah tsunami mengalami penurunan dan kemudian terisi dengan lapisan sedimen dari tsunami," katanya. Dengan penelitian tersebut, Atwater dapat membuka mata masyarakat Cascadia yang selama ini tidak menyadari bahwa sekitar 400 tahun lalu pernah terjadi tsunami besar di daerah tersebut. Waktu geologi, menurut Atwater, menjadi peringatan dini untuk bisa melakukan langkah antisipatif yang lebih banyak bila dibanding alat peringatan dini yang baru memberikan peringatan saat terjadi tsunami. "Dengan teknologi, hanya ada sedikit waktu untuk menyelamatkan diri, tetapi dengan sejarah geologi, dapat dilakukan langkah antisipasi yang lebih luas," ujarnya. Selain itu, Atwater juga menyatakan bahwa tsunami tidak selalu ditandai dengan surutnya air laut, bahkan gempa berskala kecil di daerah pesisir yang menjadi peringatan alami terhadap tsunami, getarannya kerap tidak dirasakan oleh penduduk sekitar seperti yang terjadi di Pangandaran pada 2006 dan di Banyuwangi pada 1994. Pada saat gempa besar di Aceh pada akhir 2004, air laut di perairan Aceh memang surut, tetapi massa air tersebut tertarik ke belahan dunia lain yang langsung menimbulkan tsunami seperti yang terjadi di India dan sekitarnya. Hasil penelitian tersebut akan menjadi dasar, misalnya bagi arsitek untuk menyiapkan bangunan yang aman terhadap guncangan serta menyiapkan rute evakuasi terbaik jika suatu saat terjadi tsunami. Menanam mangrove di daerah pesisir pantai pada zona daerah tropis, lanjut Atwater, bisa mejadi pilihan yang diyakini mampu meredam dampak tsunami. (*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008