Operation Ababil

Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (DHS) mengeluarkan buletin yang menyinggung soal serangan balasan, dikutip dari laman Yahoo Finance, bahwa "tidak ada ancaman spesifik dan sah' dari Iran.

Tapi, menurut buletin DHS, Iran dan sekutunya memiliki rekam jejak untuk melancarkan serangan ke AS, baik yang menargetkan infrastruktur fisik maupun serangan siber.

Iran juga memiliki riwayat serangan siber ke AS, September 2019 lalu, menurut data dari laman CSIS, Iran pernah menyerang 60 universitas di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, untuk mencuri hak kekayaan intelektual.

Salah satu serangan siber terbesar Iran adalah "Operation Ababil", serangan distributed denial of services (DDoS) dari grup yang menamakan diri Izz ad-Din al-Qassam Cyber Fighters. Serangan itu berlangsung pada 2011-2013, menargetkan institusi perbankan, antara lain Bank of America dan J.P. Morgan Chase, serta bursa saham Nasdaq.

Pendiri firma keamanan siber IronNet, yang juga mantan petinggi di National Security Agency (NSA), Keith Alexander, menyatakan AS merupakan salah satu negara yang paling mempersiapkan pertahanan terhadap serangan siber.

Tapi, ketika menghadapi sebuah serangan, sebenarnya tidak ada satu negara pun yang siap.

"Alasannya, lebih mudah menyerang daripada bertahan," kata Alexander, dikutip dari laman Forbes.

Philip Ingram, seorang mantan intelijen militer Inggris Raya, berpendapat, meski pun sulit untuk membandingkan kemampuan siber antarnegara, Iran merupakan salah satu negara yang diperhitungkan.

"Rusia dan China adalah tier 1 penyerang siber, lalu yang sangat dekat dengan mereka adalah Iran, lalu Korea Utara," kata Ingram.

Baca juga: Microsoft: Peretas yang terkait Rusia targetkan organisasi olah raga

Baca juga: Potensi serangan siber pada 2020 menurut BSSN


Menurut Ingram, sangat sulit untuk membedakan kemampuan siber setiap negara karena mereka seringkali menggunakan proxy dari negara lain untuk menyembunyikan aktivitas mereka.

Jika Schneider menyoroti infrastruktur publik yang akan terdampak serangan siber, Alexander menilai yang paling berisiko adalah sektor keuangan, energi dan komunikasi, seperti yang juga dinyatakan DHS.

Alexander menambahkan aktivitas pemerintah AS juga berisiko diserang.

"Karena itu lah yang mereka lakukan dulu, juga ke kebanyakan tempat di Timur Tengah. Masuk akal jika mereka menyerang jaringan militer jika bisa. Mereka juga akan menyerang jaringan yang berkaitan dengan energi dan finansial," kata dia.

Meski pun ada kemungkinan ancaman, Schneider berpendapat AS tidak boleh hanya berfokus pada serangan siber dari Iran.

Dia mencontohkan Operation Ababil, meski pun menargetkan institusi keuangan, dampaknya tidak begitu besar, hanya sebentar konsumen tidak bisa mengakses akun mereka.

Kekhawatiran AS soal serangan siber dari Iran beralasan, pada 2010 lalu serangan worm komputer Stuxnet menghantam program nuklir Iran. Amerika Serikat dan Israel dicurigai berada di balik serangan Stuxnet, meski pun kedua negara membantahnya.

Baca juga: Ancaman siber pada 2020, AI malware dan serangan ke aplikasi populer

Baca juga: Serangan siber intai pelaku UMKM

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020