Jakarta (ANTARA News) - Di tengah peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2008, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pecah menjadi dua. Lalu muncul seruan, sebaiknya KNPI dibubarkan saja.

Seruan lain, keduanya organisasi yang terpecah dileburkan melalui Kongres KNPI Luar Biasa. Setidaknya, itulah beberapa letupan keprihatinan, duka dan juga amarah dari kondisi obyektif adanya dua kongres dan dua kepengurusan DPP KNPI saat ini.

Saya yang pernah ikut mengabdi di KNPI, turut berduka cita. Jika
masalah ini tak terselesai, di tengah peluang pemuda mengambil peran kebangsaan dan demokrasi yang terbuka lebar, maka KNPI akan kehilangan memontumnya mengisi perubahan negeri ini.

Artikel ini ditulis untuk membuka wacana publik dengan harapan terbangun kesadaran bersama bahwa pemuda mampu memberi solusi, bukan sumber masalah. Pemuda akan mampu mengatasi masalah kebangsaan saat teruji juga mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

Memang, banyak pandangan yang berkembang di kalangan aktivis KNPI dan elit politik seputar mengapa KNPI jadi dua. Kita tak mungkin menafikan banyak pandangan dan multi persepsi dari siapapun.

Saya mencoba memetakan titik api yang menjadi pusat ledakan konflik dan terpecahnya KNPI agar terapi dan solusi untuk mengirim satuan unit pemadam kebarakaran menjadi tepat sasaran, bukan membakar "rumah" Pemuda Indonesia, hanya karena ada tikus-tikus yang terus merusak fondasi dan tiang-tiang spirit, ide dan karakter KNPI itu sendiri.

Secara obyektif, saya memahami KNPI terpecah karena masalah internal dan juga eksternal. Bahkan, ada yang menyebut karena adanya intervensi langsung ataupun tidak langsung dari pihak asing yang berkepentingan.

Yang pertama, mereka berargumen terlalu kentalnya kepentingan dan ambisi politik Ketua Umum sebelumnya, Hasanuddin Yusuf, yang mendirikan Partai Politik Pemuda Indonesia, dengan menunggangi KNPI dan seluruh jaringannya, sehingga menyalahi kodrat KNPI yang berbhineka tunggal ika, plural dan beragam menjadi peng-ikaan yang berhineka, tunggal dan seragam.

Dalam masa kepengurusannya seluruh program, sistem dan aturan menjadi berantakan dan berdampak ke seluruh sendi dan jaringan organisasi. Sama sekali bukanlah konflik antar perseorangan dan kelompok di KNPI.

Sumber konflik berada di puncak kepemimpinannya, karena kepentingan politik dan ketidakmampuan mengelola perbedaan dan konflik yang memang tumbuh subur.

Dalam 35 tahun usianya, apapun yang terjadi di KNPI dalam konflik dan perbedaan setajam apapun tak pernah ada dalam sejarahnya ada dua kongres. Fakta obyektif inilah yang meyakini bahwa KNPI terpecah karena baru pertama kali seorang Ketua Umumnya mendirikan Partai dengan memperalat dan menunggangi. KNPI terbajak oleh kepentingan politik satu partai baru yang mengkerdilkan KNPI itu sendiri.

Aspek kedua, KNPI terpecah karena campur tangan pemerintah, dalam hal ini kantor Menegpora dan Menteri Pemuda dan Olah Raga, Adhyaksa Dault yang salah kelola, juga memiliki kepentingan lain. Elit pemerintah di Istana dam sejumlah menteri lainnya terlibat dan memperparah konflik serta membiarkannya terpecah.

Lebih-lebih lagi elit partai politik dan para calon presiden yang tengah membidik wadah KNPI yang semasa Orde Baru benar-benar ampuh menjadi alat mobilisasi politik dan vote getter dalam Pemilu.

Ketidakhadiran Presiden dan pemerintah pada kedua kongres dan membiarkan KNPI tak mampu menyelesaikan konfliknya bisa dijadikan dosa pemerintah. Bukankah KNPI sejak awal berdirinya --meskipun ini sikap ambigu dan paradox atas spirit independensinya-- KNPI tak pernah lepas dari hubungan kemitraan dan kolegial dengan pemerintah. Pemerintah dengan sengaja dan sadar membiarkan KNPI terpecah di depan matanya sendiri, meskipun dipahami adanya sikap gamang dan kehati-hatian karena khawatir pada anggapan melakukan intervensi.

Ketiga, konspirasi pihak asing yang menghendaki KNPI terpecah, karena KNPI menjadi satu-satunya simbol yang potensial bagi wadah berhimpun dan bersatunya nasionalisme kepemudaan dalam spirit kebangsaan.

Potensi dan jaringan, serta gerakannya dalam meneriakkan NKRI, Bhinneka Tunggal Ika maupun spirit nasionalisme cukup menggetarkan aliansi kepentingan asing dan negara tetangga karena KNPI amat mudah tergerak dan berempati terhadap segala gangguan dan ancaman dari luar.

Reaksi pembakaran bendera Malaysia di Kalimantan atas konflik ambalat, isu-isu gerakan mahasiswa atas anti asing dengan semangat gerakan nasionalisasi asset dan juga spirit pemimpin muda yang nasionalis, patut juga dipahami sebagai intervensi asing di dalam konflik KNPI.

Dari ketiga faktor di atas, menurut hemat saya, faktor utama terpecahnya KNPI bukan karena campur tangan pihak eksternal baik pemerintah maupun tuduhan adanya penyusupan kepentingan asing. Meskipun, dipahami kedua sisi itu tidak bisa dinafikan. Keduanya masuk ke KNPI dan berpengaruh karena kondisi upaya kelompok reformas di KNPI terkalahkan oleh kelompok politik yang mengandalkan transaksional, uang dan pragmatisme jangka pendek.

Terjadi kegagalan dari spirit untuk mengubah haluan KNPI dari organisasi politicking yang dependen dan tertutup, monokultur, tradisional dan sentralistik menuju KNPI yang lebih indepeden dan terbuka, plural, multikultural, profesional, dan tidak sentralistik.

Malapraktek inilah, sebagai kegagalan fundamental yang sejak kongres tercipta secara kolektif alias dosa kolektif yang terus menjalar kronis menjadi penyakit kanker ganas di KNPI. Keberhasilan merumuskan konsep dan agenda perubahan tanpa ketegasan visi dan misi yang konsisten dijalankan.

Konsensus dan kesepakatan malah ditabrak pertama kali oleh pucuk kepemimpinan. Terlebih, kongres kerap gagal dalam memilih siapa nakhoda KNPI, karena uang, transaksi kekuasaan, dan kenikmatan sesaat telah menjadi budaya korup yang melanda sebagian besar pemilih dari sebagian Organisasi Pemuda berhimpun, baik Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP) maupun Dewan Pimpinan Daerah (DPD).

Saya yakin, inilah faktor obyektif dan sejujur-jujurnya menjadi koreksi dan otokritik bersama bahwa pertarungan kepemimpinan di KNPI tanpa system dan proses yang menjamin bebas dari korupsi politik dan korupsi transaksional. Tak heran masih ada yang mengibaratkan KNPI sebagai `kebun binatang? yang luar biasa ganasnya.

KNPI belum menjadi samudera lautan biru yang tenang dan damai tempat berlabuhnya kapal pemuda yangmengusung kekuatan pemuda Indonesia dengan spirit kebangsaan menuju Indonesia yang lebih baik.


Solusi

KNPI terpecah karena masih terlalu kentalnya warisan budaya lama yang mempengaruhi proses pembentukan dan perkembangannya, yaitu politisasi yang menghinggapi para aktivisnya. Warisan itu sempat teramputasi oleh arus perubahan bergulirnya reformasi, sebagai perubahan semu, dadakan dan ikut-ikutan, sehingga bukan perubahan fundamental dan penuh kesadaran.

Hasilnya, dalam satu dasawarsa KNPI di era Reformasi dan selama tiga kali Kongres Pemuda, belum menunjukkan harapan baru bagi kebutuhan perubahan ide-ide besar dan gerakan transformatif yang menjadi inspirasi kaum muda.

Dampaknya, KNPI saat ini, benar-benar terpecah dan terbelah mulai dari hulu ke hilir. Lalu, bagaimana nasib KNPI kini dan ke depan? Masihkah ada harapan untuk kembali satu dan utuh atau membutuhkan format dan haluan baru dalam dimensi keberhimpunan yang lain?

Ketika saya memasuki KNPI secara kelembagaan pada Kongres XI di Kinasih, KNPI saya pahami sebagai wadah berhimpun pemuda Indonesia yang potensial menjadi wadah bersatu dan pemersatunya pemuda Indonesia. Penyakit kronis di puncak gunung es dalam tubuh KNPI Pusat adalah politicking.

Masih terlalu besar jumlah dan rasio para aktivis KNPI yang berlatar politik. Sayangnya, bukan politisi muda yang matang dan siap saji, melainkan cikal-bakal politisi yang masih mengandalkan otot daripada otak. Lebih banyak aktivis yang masih mencari bentuk sehingga pola intrik, isu dan fitnah masih lebih kental ketimbang pendekatan ide kreatif, konsepsi maupun inovasi perubahan.

Masih banyak para pengurus yang befikir dan bertingkah laku lokal dan primordial dibanding yang secara langsung mempraktekkan spirit nasionalisme dan peran global kepemudaan. Intinya, di hampir setiap organ dan lini, penyakit kanker KNPI berpusat pada kronisnya penyakit politicking yang kemudian menjalar ke jaringan tubuh lainnya secara "complicated " ke penyakit pragmatism, premanisme, demoralisasi serta krisis intelektual sehingga semua pola hubungan dan keputusan selalu dengan pengaruh transaksional, uang dan kepentingan jangka pendek.

Dapat dipahami kemudian, mengapa banyak OKP/DPD kemudian bersikap netral atau menghindari konflik yang lebih tajam. Saya lebih melihat pada sisi fundamentalnya, bahwa Kongres Ancol dan Kongres Bali sama-sama melanggar konstitusi. Pelanggaran paling awal dilakukan oleh Kongres KNPI XII Ancol karena pelaksanaan kongres di Bali adalah keputusan Majelis Pertimbangan Pemuda (MPP) dan juga amanat keputusan Kongres XI. Sementara Kongres XII di Bali mengabaikan azas konstitusional AD/ART, karena AD/ART yang disajikan di Bali bukan AD/ART hasil MPP.

Baik Kongres di Ancol Jakarta maupun Kongres di Bali sama-sama terbukti melanggar Konstitusi. Terlepas dari sisi legitimasi, faktor intervensi, ataupun sisi politik dan kekurangan dan kelebihan masing-masing, kedua faktor tadi dapat meyakinkan bahwa perlu ada solusi lain di luar kepengurusan ganda tersebut.

Solusi yang bisa ditawarkan untuk mengatasi perpecahaan itu adalah langkah akomodasi sistem presidium yang diperluas, pendekatan keadilan hukum atau Kongres Luar Biasa dengan syarat berkualitas.

Pertama, akomodasi system presidium diperluas adalah menggabungkan kepengurusan Kongres Bali dan Kongres Ancol serta semua kandidat yang ada dalam kepengurusan transisional selama tiga bulan untuk bersama menyiapkan Kongres Luar Biasa atau jika sampai tiga tahun dengan kepemimpinan kolektif dalam dua kali masa kepemimpinan dalam tiga tahun.

Masing-masing setahun setengah secara merata, baik Kubu Ancol maupun Kubu Bali.

Solusi Kedua, masing-masing mengajukan jalan keadilan hukum dengan proses litigasi, pengadilan. Ini akan memakan waktu lama. Setidaknya, bisa melalui uji material di Mahkamah Konstitusi atas kesepakatan bersama.

Jalan ini mengandung kelemahan karena sistem di KNPI sendiri gagal menyelesaikan konflik. Semua harus menghormati kesepakatan untuk menerima apapun hasil keputusan hukum. Apapun hasilnya, kemudian, tetap menyatu dan bersama membenahi KNPI, baik pihak yang kalah maupun menang.

Solusi terakhir, adalah Kongres Luar Biasa. KLB adalah konstitusional
berdasarkan AD/ART KNPI, yang kepanitiaannya dilaksanakan oleh DPP KNPI Gabungan, baik Bali atapun Ancol. Jika tidak terpenuhi, seluruh OKP yang berhimpun dan DPD KNPI Provinsi bertemu dalam forum Majelis Pemuda Indonesia Plus DPD KNPI Provinsi, untuk menjadi penanggung jawab Kongres secara bersama-sama.

Solusi, dari, oleh dan untuk pemuda demi bangsa, akan terpenuhi jika aturan dan mekanisme KLB ini benar-benar diterapkan. Tinggal, bagaimana sebuah jalan komunikasi terbuka, terus membangun saling percaya dan niat baik, antar semua pihak harus terus ditumbuhkan.

Saya meyakini, masalah KNPI dapat diselesaikan oleh pemuda sendiri. Inisiatif terbuka dan cepat dari semua pihak amat dibutuhkan. Juga, kesadaran bersama dan sebuah "spiritual wisdom" (kearifan spiritual) dapat dikedepankan ketimbang ego, ambisi dan kepentingan pribadi maupun kelompok.

Spirit untuk menyelesaikan bersama masalah ini harus melampaui segala persepsi maupun kepentingan dengan upaya lintas dialog dan diskusi yang bebas, beretika dan bertanggung jawab. Kelak, begitu kita bersama dapat menyelesaikannya, maka bangsa ini dan para elit akan merasa lega dan penuh optimisme baru, termasuk kekuatan manapun akan menoleh kepada pemuda Indonesia, bahwa masih ada kekuatan pemersatu bangsa.

Masih ada harapan akan adanya masa depan Indonesia yang lebih baik, dan kita akan merenda sejarah negeri ini dengan indah dan penuh warna-warni kedamaian.(*)

*Munawar Fuad, Vice Presiden Pemuda Asia dan Mantan Sekjen DPP KNPI.

Oleh Oleh *Munawar Fuad
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008